Sesungguhnya, musik punk dan dangdut koplo itu mungkin terlahir dari rahim yang sama, yaitu semangat resistensi dan antikemapanan.
Cuma, bedanya, punk seringkali mengaplikasikan pemberontakannya terhadap sistem, melalui suara kemarahan yang tertuang dalam melodi dan lirik-liriknya.
Sementara dangdut koplo, adalah antitesis dari “dangdut serius” yang berisi petuah hidup ala Rhoma Irama. Dangdut koplo melakukan perlawanan terhadap segala tetek bengek tekanan sosial di sekitarnya, dengan cara menertawakan kegetiran hidup sambil bergoyang secara riang gembira.
Karena itulah, kita tak akan menemukan syair-syair perlawanan yang frontal dalam genre dangdut koplo. Karena, dari awalnya, musik jenis ini memang tidak dimaksudkan politis seperti itu.
Kita hanya akan menjumpai deretan lagu bertema remeh temeh, persoalan hidup yang dekat, yang sering dijumpai dalam keseharian, seperti kisah seorang istri yang punya bojo galak dan omongannya sengak, jeritan hati karena ditinggal rabi oleh mantan kekasih, sikap pasangan yang terlalu egois, dan bahkan soal bidadari keseleo yang giginya dihiasi kawat abang ijo.
Namun, berbeda dengan genre dangdut terdahulu, di mana tema-tema (yang didominasi persoalan) patah hati itu diolah menjadi sebuah alunan lagu yang merengek-rengek (seakan dunia akan segera runtuh kalau tidak ditangisi), dangdut koplo justru menyulap tema-tema menyedihkan itu menjadi sebuah perayaan yang gegap gempita. Sebuah festival patah hati yang menggembirakan, di mana lirik yang sesungguhnya menyakitkan, ditingkahi dengan ketiplak kendang yang sanggup membuat para penikmatnya berjoget riang.
“Kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi,” nukilan syair lagu Bojo Galak ini mungkin bisa mewakili semangat dari dangdut koplo. Semangat selow menghadapi tekanan hidup yang mungkin sebenarnya tak tertanggungkan.
Di titik inilah, dangdut koplo dan punk menemui persimpangan jalan. Maka tak heran, jika JRX marah-marah, ketika Via Vallen membawakan lagu milik Superman Is Dead (SID) dengan spirit dangdut koplo.
Lagu yang pada mulanya dimaksudkan SID sebagai ungkapan perlawanan, dibawakan Via dengan semangat hore-hore, seperti halnya saat Via membawakan lagu-lagu apolitis miliknya sendiri.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan JRX untuk mencegah terjadinya hal ini di kemudian hari, adalah menggunakan isu hak cipta. Di mana langkah itu, sangat mudah dikelirukan oleh publik, sebagai usaha JRX untuk mempermasalahkan soal pundi-pundi rupiah.
Apalagi, di bawah naungan Sony Music Indonesia, banyak pihak yang menempatkan SID sebagai band antikemapanan yang mapan. Apalah arti perlawanan, di bawah kekuatan kapitalisme yang maha kuasa, selain komoditas yang bisa diecer sesuka hati ke sana kemari?
Namun, terlepas itu semua, dari yang dibaca dalam protes yang dilontarkan JRX, ini adalah perkara ruh dari lagu milik SID. Ruh dari lagu punk. Jika dilihat dari sudut pandang ini, apa yang dilakukan JRX adalah sesuatu yang wajar. JRX kemungkinan tak akan mempermasalahkan, jika Via menggunakan kepopulerannya untuk menyuarakan apa yang disuarakan SID.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi, jika Via menyelipkan pesan tentang invasi pabrik semen di Kendeng, pembunuhan Munir, pelanggaran HAM pada 1965, atau soal isu reklamasi, di depan para penggemarnya di setiap penampilannya. Dengan jutaan Vianisty militan yang selalu siap untuk bergoyang, tentu suara Via akan sedikit banyak memberikan dampak.
Cuma, masalahnya, Via tidak (dan sepertinya tidak akan pernah) melakukan itu. Kenapa, begitu? Ya, karena Via adalah seorang penyanyi dangdut koplo, yang memang dari awal kelahirannya memang tidak politis. Ini bukan soal seni rendah versus seni tinggi. Suka tak suka, dari kacamata dangdut koplo, segala macam tekanan di dalam kehidupan ini adalah fana. Dan, bergoyang adalah solusinya.
Jadi, langkah apa yang bisa diambil kedua belah pihak untuk menyelesaikan perseteruan ini? Mungkin, tak ada salahnya, jika mereka mulai berpikir untuk duduk di satu meja, bicara baik-baik, ngopi bareng, sambil membahas kemungkinan untuk berkolaborasi. Saya pikir, brand “Via Vallen Is Dead” punya potensi besar akan bisa laku di pasar.
Bayangkan saja, tiga personel SID dan Via tampil di satu panggung yang sama, mengepalkan tangan di depan para outSIDers dan Temon Holic, sambil melantunkan puisi epik tentang kepedihan: Ditinggal Rabi di Tanah Anarki.
Oo Aa Oo Ee!
Asyem, jasik, kutu berkutu tulisanmu apik bang.
Terima kasih, Mas Trigus.
Keren ini tulisannya, aseli… Salam kenal Bang…
Terima kasih, Bung Dwi Wahyudi. Salam kenal juga.
Menarique.. Terkadang kita sering menyamakan persepsi antara gagasan kita dengan isi kepala orang lain.. Tapi memang mungkin, dalam setiap lirik lagu yang diciptakan SID diharapkan mampu dibawakan dengans emangat yang sama.. Which is, tidak semua lagu bisa dibawakan secara koplo.. itu aja, terima kasih..
Betul sekali. Terima kasih sudah singgah dan membaca, Bung Maseko.
Mas, anak jaksel ya?
Jaktim, Mas.
Suka komen nya… menyusup ke jiwa.. dan kupikir pikir bener jugaa…
Mantul mamank
Gue pengen rasanya di satu konser SID memaki di muka Jerinx dengan kata-kata ‘Your Mom FUCKING WHORE, Moron Punker!”
VV cocoknya ngecover lagu2nya Endank Soekamti..
bagus banget bang
Nice
Ada ruh dan esensi tersendiri dari setiap ruh dan genre, yang mungkin tidak akan bisa di implementasikan dalam aransemen genre tertentu pula. Semoga bisa dipahami
Simple, g semua lagu bisa jadi koplo.
Terima kasih atas tulisannya. Semoga pengaruhnya semakin menyebar.
Bisa juga ndak usah pake isu royalti atau hak cipta.. Sesederhana ketemuan saja. Lalu JRX memberikan himbauan, petuah atau juklak kepada Via Vallen, bagaimana cara yang tepat membawakan lagu ini. Karena lagu SDTA menurut saya ya sangat bisa diinterpretasikan dengan banyak cara dan pandangan.
Terimakasih tulisannya mas Setyo.
Ditinggal Rabi di Tanah Anarki.
Sound good bang
Wahhh… Ternyata, Suparman Isded adalah Budak Kapitalis yang sok suci ngemeng Lingkungan Hidup. Contoh grup band miskin ideologi modal Jargon anti kemapanan.
Jangankan Anarko Sindikalis, denger teorinya Murray Bookchin pun tidak: “Jantung kerusakan ekologi itu ketika manusia dibiarkan memangsa manusia yang lain, instrumennya modal”
Jadi, dalam teori ekonominya Kakaroto; “dari mana modal itu berasal, kesanalah nilai tambahnya kembali” darimana modalnya Suparman Isded, dari kapitalis label musik tingkat dunia.
Suparman Isded adalah pangkalan kapitalis berjubah ekologis. Taeekkkk…
Mas Raul, sesekali kita perlu berkaca sebelum mencaci maki orang lain.
SID tidak sempurna tapi coba bandingkan apa yg mereka sudah lakukan dibanding kita2 ini.
Cerdassss
Keren tulisannya bang.
kesimpulannya cuma 1: sebagai seniman kreatif jangan biasakan membawakan karya pihak lain
Keren tulisanmu mas..
Keren artikelnya..Saya mendukung SID dan via vallen satu panggung bersama, karena saya pecinta SID dan ngefans dengan via vallen haha
Keren… Kalau di pikir” bener juga ya.