Nasi Goreng Cabai Hijau dan Kematian yang Diam-diam

Keranda hijau itu berhenti tepat di depan kamar, saat saya sedang mengunyah nasi goreng dingin sisa siang sebelumnya sambil berpikir: besok memesan versi yang lebih pedas atau yang sama saja?

Kawan sekamar saya baru saja dibolehkan pulang, dan itu adalah dini hari pertama saya sendirian di situ. Lampu neon sedikit berdengung, sementara tabung oksigen terus mengeluarkan suara buih yang menggumpal-gumpal. Replika lukisan bunga mawar di atas ranjang tampak sepucat nasib.

Selama 16 hari dirawat di rumah sakit gara-gara COVID-19, nafsu makan saya menjadi sulit dikendalikan. Saya curiga, ini adalah efek dari obat dan vitamin dan entah apa lagi yang dimasukkan ke tubuh saya. Demi memenuhi kebutuhan itu, saya nyaris tiap hari memesan banyak jenis makanan via daring untuk jaga-jaga jika tiba-tiba kelaparan: salah satu favorit saya adalah nasi goreng cabai hijau yang tak sengaja saya temukan di aplikasi pemesanan.

Saya sedang pelan-pelan mengunyah nasi dan potongan telur dadar di atas kasur, saat sepasang tenaga kesehatan bekerja dalam bungkam di balik pintu kamar yang buram. Dalam siluet, mereka tampak membuka penutup keranda, lalu mengangkat sesosok tubuh dari kamar seberang, meletakkannya, menutupinya, kemudian membawanya pergi. Tiada jeritan dan tangisan. Tapi saya tahu, ada kematian.

Saya tak paham, itu tadi mayat siapa: mungkin bapak-bapak yang sering duduk di lorong dan selalu dinasihati perawat untuk masuk ke kamar itu, atau mungkin ibu-ibu yang sering mengerang kesakitan itu, atau mungkin pasien lain yang saya tak pernah tahu. Saya hanya tahu, dini hari itu ada kematian.

Saya sempat berpikir, apakah yang sedang saya lakukan adalah sesuatu yang memenuhi standar moral atau tidak: diam-diam mengunyah nasi goreng dingin (sambil terpikir versi yang sedikit lebih pedas) sementara di balik pintu ada kematian yang begitu tenang?

Namun, pikiran melankolis itu ternyata tak bertahan lama, karena toh pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan: saya harus terus bertahan hidup dan keesokan harinya saya bebas mau makan apa saja, entah nasi goreng cabai hijau yang itu, atau babat gongso yang saya pesan beberapa hari sebelumnya itu, atau bakwan teri yang itu, atau apa pun yang saya mau. Satu-satunya yang penting buat saya adalah bertahan hidup, selebihnya urusan nanti.

Saya pertama kali merasakan gejala pada 14 Juni 2021. Saat itu, saya yang baru pulang dari sebuah pekerjaan tiba-tiba terserang demam tinggi, semua bagian badan terasa nyeri, ditambah sakit kepala yang kian malam kian menggila. Waktu itu, saya sudah berpikir, ini bukan jenis rasa sakit yang biasa saya derita.

Keesokan harinya, saya diantar Mia, pasangan saya, untuk melakukan tes PCR di rumah sakit. Usai tes, saya diberi banyak obat-obatan. Hasil tes yang keluar sehari setelahnya menyatakan bahwa saya positif terinfeksi COVID-19. Di hari yang sama, Mia yang merawat saya mulai tampak kepayahan dan merasakan gejala serupa. Ia melakukan tes PCR pada 17 Juni 2021, bersamaan dengan saya yang menjalani serangkaian tes lain. Keesokan harinya, hasil tes Mia keluar, dan dia juga dinyatakan positif.

Kami bersepakat untuk menjalani isolasi mandiri di kamar kos saat itu. Kami mulai menutup diri rapat-rapat. Kondisi Mia jauh lebih kuat dari saya. Dia merawat saya yang semakin ke sini semakin payah.

Di tengah rasa sakit yang datang dan pergi, kami sempat berdebat. Mia menyebut erangan kesakitan saya sebagai sebuah bentuk keluhan. Menurutnya, itu tak seharusnya dilakukan. Saya diminta menahan rasa sakit sebisanya.

Tentu saja, saya membantah. Rasa sakit yang saya rasakan adalah pengalaman faktual dan saya merasa sah-sah saja jika ditampilkan. Justru akan bahaya jika ekspresi kesakitan ditahan-tahan. Kami memperdebatkan itu di tengah demam yang tak kunjung turun dan rasa sakit yang tak habis-habis. Saya tahu, Mia tak bermaksud jahat, dia hanya bingung melihat saya yang terus-terusan merintih kesakitan.

19 Juni 2021, saya dan Mia diantar untuk pindah ke apartemen seorang kawan. Diam-diam, beberapa kawan baik melakukan sejumlah hal di belakang kami. Mereka berkoordinasi menyiapkan apartemen untuk kami, menggalang donasi, dan menyiapkan segala sesuatu hanya untuk memastikan bahwa saya dan Mia baik-baik saja. Sampai sekarang, saya terus-terusan meleleh kalau ingat ini. Saya dikelilingi begitu banyak orang baik. Banyak sekali orang baik.

Usai tiga hari di apartemen, kondisi saya kian memburuk. Ingatan saya tentang hari-hari itu agak buram. Pada 22 Juni 2021 siang, kami sempat dijemput ambulans untuk dibawa ke Wisma Atlet. Namun, ternyata kondisi saya terlalu parah untuk ditempatkan di sana. Mia yang mendapat rekomendasi masuk ke sana menolak juga, karena saya tak mungkin ditinggal sendiri.

Hingga akhirnya, atas bantuan perusahaan tempat saya bekerja, saya dirujuk agar bisa mendapat kamar di RS Kartika Pulomas pada sore harinya. Sementara Mia tetap bertahan di apartemen, menjalani hari-hari yang membosankan dan membuat emosi lantaran sinyal internet yang tak memadai.

Belasan hari terisolasi dari dunia luar membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal. Saya ingat, pada 2009, saya datang sendirian ke Jakarta untuk memulai karier sebagai wartawan. Saya hanya membawa satu ransel hitam berisi pakaian dan uang Rp2 juta hasil dari giwang Ibu yang digadaikan. Saya nyaris tak punya kawan dekat ketika itu, dan bertahan seperti itu sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga hari ini, semua berubah, di mana ada begitu banyak kawan yang bersedia melakukan apa pun demi kebaikan dan keselamatan saya. Untuk itu, saya harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka: Kalian benar-benar orang baik.

Terbaring diam tanpa melakukan hal berarti selain membaca berita duka dan kebebalan kaum feodal Yogya juga memaksa saya memikirkan hal-hal yang sempat terlewat: kehidupan, kematian, mimpi, kemelekatan, dan lain sebagainya.

Nyaris tiap hari, saya selalu menambahkan ke dalam daftar, hal-hal apa yang kira-kira akan saya lakukan jika saya bisa selamat dari wabah ini: perbanyak membaca buku bagus dan menonton film bagus, berhenti merokok dan minum alkohol, menyembuhkan minus mata yang kian parah, terus melawan tirani, mencoba olahraga ringan, menjual koleksi buku buruk dengan harga murah, pulang kampung dan membuat rumah kecil di kebun bambu, membeli sepeda motor yang dari dulu saya idam-idamkan, sampai membuka warung nasi goreng cabai hijau yang rasa pedasnya benar-benar pas.

Saya tak tahu, apakah wacana-wacana itu akan tetap menjadi wacana seperti yang sebelum-sebelumnya atau berubah menjadi kenyataan pada suatu hari nanti. Satu hal yang pasti, hari ini, 8 Juli 2021, saya sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisi saya makin membaik. Kondisi Mia juga membaik, meski indra penciuman dan perasanya masih bermasalah. Kami yakin bahwa kami sedang dalam perjalanan menuju kesembuhan. Terima kasih untuk semua bentuk dukungan. Kami akan semakin kuat. Seperti yang pernah dibilang Nietzsche, “Sesuatu yang tak membunuhmu, akan membuatmu menjadi lebih kuat.”

Sabbe saṅkhārā aniccā,
Sabbe saṅkhārā dukkhā,
Sabbe dhammā anattā.

 

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *