Mendirikan kerajaan dengan klaim mengada-ada itu sebenarnya biasa-biasa saja. Bukankah dulu, kerajaan-kerajaan yang sebagian masih eksis sampai sekarang itu, proses kelahirannya juga begitu?
Tanpa angin dan hujan, sekelompok keluarga kaya raya tiba-tiba menempati suatu wilayah, kemudian dengan semena-mena mengangkat dirinya menjadi penguasa, mengaku-aku sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi, lalu membentuk sebuah sistem pemerintahan, kemudian mewajibkan masyarakat di sekitarnya untuk membayar upeti, kadang-kadang berperang dengan keluarga kaya lain untuk melebarkan wilayah, lalu meneruskan kekuasaan kepada anak cucunya, dan sebagainya?
Hanya saja, ketika hal itu dilakukan di zaman sekarang, sebuah masa di mana bocah-bocah ingusan sudah menenteng gawai ke sana kemari sementara orang-orang dewasa rela menyisihkan sebagian gajinya yang tak seberapa untuk membeli iPhone terbaru, hal semacam itu memang terdengar ajaib.
Namun, yang jauh lebih ajaib lagi, ketika ada sepasang orang (yang mengaku suami istri) memproklamirkan sebuah kerajaan bernama Keraton Agung Sejagat, tiba-tiba pada suatu malam diciduk polisi, untuk kemudian dijadikan tersangka, lantaran dituduh melakukan penipuan serta menyebarkan berita bohong yang meresahkan masyarakat.
Lha, yang resah itu siapa, yang ditipu itu siapa? Saya sebagai bagian dari masyarakat malah terhibur, kok. Saya tahu, kalau saya ditipu. Dan, saya senang dengan penipuan yang ini. Saya sudah capek sama cara penipuan yang dilakukan para elite politik busuk yang modusnya begitu-begitu saja. Berbusa-busa mengobral janji waktu kampanye, untuk kemudian dilupakan saat sudah berkuasa.
Saya juga tak yakin, kalau para pengikut Sinuhun Totok Santosa Hadiningrat dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja yang harus bayar Rp3 juta buat bikin seragam itu, merasa tertipu. Mereka adalah orang-orang yang percaya, kalau Keraton Agung Sejagat memang benar-benar penerus kejayaan Majapahit yang akan menjadi penguasa dunia. Masa, orang percaya dilarang?
Kenapa negara selalu merasa punya hak untuk mengatur segala sesuatu, termasuk apa yang boleh dipercayai dan tak boleh dipercayai rakyatnya? Toh, mereka belum mengangkat senjata atau melakukan sesuatu yang berbahaya.
Apa karena yang dipercayai dianggap sebagai sesuatu yang tak logis? Lha, memangnya pemikiran kalau menusia itu dibuat dari segumpal tanah liat, terus cerita soal bocah lelaki yang saat disembelih bapaknya tiba-tiba berubah jadi biri-biri, terus kisah seorang perawan yang hamil tiba-tiba tanpa dibuahi lelaki, dan semacamnya itu logis?
Soal iuran bulanan yang konon berbuah kehidupan yang lebih baik, apa bedanya sama sedekah yang berujung iming-iming sungai madu di surga?
Kalau cuma urusan penipuan, bukankah begitu banyak penipu yang berkeliaran riang gembira di sekitar kita?
Kalau tak salah ingat, dulu pernah ada calon kepala negara yang berjanji untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu. Pernah ada pula calon kepala daerah yang berjanji akan mengatasi banjir dengan melesakkan air hujan ke dalam bumi. Ada yang pernah berjanji akan mendukung pemberantasan korupsi di negara ini, tapi malah mendukung revisi UU KPK, yang membuat penggeledahan sebuah kasus korupsi diundur dan bahkan jadwalnya dipampang di muka publik. Terus ada pula yang sesumbar anti sama politik dinasti, tapi tiba-tiba, anak, menantu, paman menantu, dan adik iparnya, maju di pilkada.
Kurang menipu apa lagi, coba?
Kalau membedakan mana yang layak dipenjara dan tak layak dipenjara saja tak becus, jangan heran kalau ada masyarakat yang punya inisiatif buat bikin negara sendiri.