Panji-panji Patriarki di Lagu Mendung Tanpo Udan

Didi Kempot memang sudah lama tiada, tapi spiritnya tak henti berlipat ganda. Mengikuti perkembangan lagu-lagu pop Jawa yang muncul belakangan ini, saya menjadi optimis: apa pun yang terjadi, kita akan selalu baik-baik saja. Percayalah, selama kita masih bisa bernyanyi dan berjoget riang saat kehilangan, kita akan tetap baik-baik saja (paling cuma nangis dikit).

Secara musikalitas, lagu-lagu pop Jawa pasca Didi Kempot cukup beragam: ada yang brilian, ada pula yang menyedihkan. Mereka yang tampil dengan gaya otentik ada banyak, tapi yang terkesan ikut-ikutan juga tak kalah banyak.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Mendung Tanpo Udan (penulisan yang benar adalah Mendhung Tanpa Udan) ciptaan Kukuh Prasetya Kudamai. Secara musikalitas, lagu yang pertama kali dinyanyikan pengarangnya sendiri (dan belakangan versi koplonya dibawakan oleh Denny Caknan dan Ndarboy Genk) itu sungguh asyik. Ini adalah jenis lagu yang gampang nempel di kuping: sekali mendengar, pasti terngiang-ngiang. Tapi sayang, saya merasa terganggu dengan nukilan lirik di lagu ini. Saya melihat ada panji-panji patriarki; yang entah sengaja atau tidak; berusaha dikibarkan di sini.

Lirik “aku maca koran sarungan, kowe blanja dasteran” itu sekilas memang terdengar romantis: sebuah bentuk penerimaan tingkat tinggi di mana masing-masing pihak sudah tak peduli lagi dengan penampilan sang pasangan yang (cuma) sarungan dan dasteran, sebuah bentuk cinta yang polos tanpa pernak-pernik berlebihan.

Tapi, lirik yang terkesan romantis ini sebenarnya lekat dengan kultur patriarkis: di mana lelaki digambarkan memiliki hak istimewa buat enak-enakan mengikuti arus informasi dari dunia luar sambil sarungan, sementara sang perempuan harus melakukan pekerjaan domestik (berbelanja) sambil dasteran. Jangankan membantu bikin sarapan atau mengepel lantai di teras depan, bahkan mengantar berbelanja saja tidak, malah asyik-asyikan baca koran.

Lirik semacam itu cuma bisa lahir dari sebuah dunia yang sudah mematenkan peran lelaki dan perempuan: eksternal dan domestik. Penulis lirik cuma mencomot saja apa yang lumrah terjadi di masyarakat, tak peduli apakah yang dicomot itu perlu diperbaiki atau tak perlu diperbaiki. Padahal, hal-hal yang sudah lumrah terjadi belum tentu baik dan benar. Pungli dan korupsi itu kurang lumrah apa? Tapi apa keduanya baik? Pemakluman terhadap hal-hal receh semacam itu di produk budaya populer kita hanya akan membuat kondisi menjadi begini-begini saja: tiada kesetaraan antara lelaki dan perempuan.

Kalau si lelaki di lagu Mendung Tanpo Udan itu cuma bisa membayangkan “aku maca koran sarungan, kowe blanja dasteran”, ya wajar saja kalau akhirnya dia belok kiri sendirian sementara sang perempuan memilih untuk belok kanan. Lelaki itu jelas patriarkis sejak dalam pikiran dan layak buat ditinggalkan. Mungkin saat ini, perempuan itu sudah bertemu dengan lelaki lain yang lebih egaliter dan gemar menyanyikan: “aku nggoreng endhog nggo sarapan, kowe blanja dasteran” atau “aku maca koran sarungan, kowe ngisi materi zoom-zooman”.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *