Seperti halnya tipikal film-film horor Indonesia, KKN di Desa Penari itu dibuat semata untuk mengeruk untung dengan mengeksploitasi kebudayaan lokal dan mengecapnya sebagai yang klenik dan negatif.
“Lagu lain, dong. Kayak mau manggil setan,” kata seorang kawan bertahun-tahun lalu saat saya memutar sebuah komposisi musik di laptop.
Musik yang saya putar adalah Ketawang Puspawarna, sebuah gendhing karya Mangkunegara IV (1853-1881) yang bercerita tentang keindahan beragam jenis bunga di muka bumi.
Gendhing ini adalah salah satu dari puluhan komposisi musik dari berbagai belahan dunia yang dikirim NASA ke luar angkasa dengan pesawat Voyager pada 1977.
Waktu saya jelaskan soal itu, dia cuma bengong. Dia bilang, dia selalu merinding setiap kali mendengar tembang Jawa, karena di film-film, komposisi musik semacam itu selalu dilekatkan dengan adegan horor.
Fenomena di film-film horor itu tak bisa dilepaskan dari modernitas peradaban. Pemikiran bahwa sistem kehidupan manusia semakin ke depan menjadi lebih maju dan modern dan bersifat positif, memiliki efek samping munculnya pemikiran bahwa sistem kehidupan yang mulai ditinggalkan sebagai yang terbelakang dan kuno dan bersifat negatif.
Itulah kenapa, kita akan selalu menemukan simbol-simbol kebudayaan lokal lawas dieksploitasi dan dilekatkan secara serampangan di film-film (dan kebudayaan populer lainnya) untuk menciptakan ketakutan.
Karena, pada hakikatnya, manusia akan selalu takut dengan hal-hal yang asing – yang liyan – yang tak mereka pahami: tak memahami syiah, takut dengan syiah – tak memahami PKI, takut dengan PKI – tak memahami hal-hal setelah kematian, takut dengan hal-hal setelah kematian.
Pada 2006, tembang Lingsir Wengi diputar di film Kuntilanak karya Rizal Mantovani sebagai lagu pemanggil setan. Padahal, tembang itu digubah Sunan Kalijaga sebagai tembang penolak bala. Bayangkan, dari lagu penolak bala tiba-tiba berubah menjadi lagu pemanggil setan.
Sementara pada 2018, tembang Gambuh dinyanyikan Nafa Urbach saat memeragakan adegan di altar pengorbanan di film Kembang Kantil karya Ubay Fox. Padahal, tembang itu berisi petuah tentang bagaimana cara bersikap bijaksana dalam relasi antarmanusia di dunia. Apakah mengorbankan seorang anak manusia dengan sebilah pisau adalah sesuatu yang bijaksana?
Satu lagi yang paling gamblang segamblang-gamblangnya, yaitu DreadOut karya sutradara Kimo Stamboel (2019). Di film ini, sosok setan digambarkan dengan segala hal yang berbau tradisi lokal: arsitektur bangunan, pakaian, musik, dll. Dan, setan-setan jahat itu bisa dikalahkan dengan – jeng jeng – jepretan kamera HP. Ya, di film itu, yang lokal nan jahat hanya bisa dikalahkan dengan yang modern nan baik.
Di mata kebanyakan penulis naskah dan sutradara film horor Indonesia, segala sesuatu yang berbau lokal; entah lagu, pakaian, kesenian; adalah klenik. Titik. Ketika praktik itu dilakukan terus-terusan, efeknya, ya seperti yang saya ceritakan di awal tadi: tembang yang bercerita tentang bunga warna-warni di muka bumi dianggap sebagai lagu pemanggil setan.
Sejauh ini, hanya sedikit film horor Indonesia yang tidak memakai ramuan eksploitasi lokalitas semacam itu buat menakut-nakuti penonton. Menurut saya, salah satu yang paling oke adalah Pengabdi Setan karya Joko Anwar (2017).
Di film ini, tak ada satu pun simbol lokalitas yang dikaitkan dengan klenik. Para pemuja setan di film ini bukanlah orang-orang yang hidup dengan tradisi lama dengan simbol-simbol semacam keris, blangkon, kemenyan, kebaya, dll, melainkan pasangan suami istri biasa yang tinggal di kota dan merasa putus asa lantaran tak kunjung punya anak.
Bahkan, Pengabdi Setan meloncat lebih jauh dari itu. Sementara di zaman Orde Baru, film horor “diwajibkan” memunculkan tokoh pemuka agama sebagai pemegang otoritas kebenaran dan digambarkan selalu menang saat melawan karakter setan di akhir cerita, film ini justru mengambil jalan yang sama sekali berbeda.
Alih-alih terbakar dengan lantunan doa, setan di film ini justru ikut menjadi makmum dalam adegan salat. Bukannya menjadi pemenang, tokoh kyai di film ini justru mati terbunuh oleh si setan.
Di film ini, Joko Anwar muncul dengan menjungkirbalikkan logika yang selama puluhan tahun terus-terusan dijejalkan ke kepala kita tentang posisi agama di film horor Indonesia.
Logika Orde Baru yang “mewajibkan” kemunculan tokoh agama sebagai pemenang itu adalah simbol hegemoni kebenaran: semenyeramkan apa pun setannya, agama pemenangnya – sekacau apa pun masalahnya, negara solusinya.
Konsep yang dibangun Orde Baru dibuat sesederhana mungkin dan tak memfasilitasi daya kritis masyarakat. Bagi Orde Baru, kebenaran itu mutlak dan satu: dalam urusan setan, ya agama – dalam urusan lain, ya negara. Fakta bahwa kemenangan agama atas si setan tak lebih dari kemenangan satu jenis takhayul atas satu jenis takhayul yang lain, itu sama sekali tak penting dan sebaiknya tak dipikir.
Lalu, apakah Joko Anwar memang selalu seyahud itu dalam perkara lokalitas di film horor Indonesia? Ya, enggak juga. Di film Perempuan Tanah Jahanam (2019), dia juga sama saja dengan sutradara-sutradara lainnya yang mengaduk-aduk budaya lokal sebagai ramuan klenik buat menakut-nakuti penonton: wayang kulit, gamelan, aksara Jawa, dsb.
Terus, bagaimana dengan KKN di Desa Penari yang konon sudah ditonton lebih dari tujuh juta kali? Ya, itu adalah indikasi bahwa akan ada jutaan orang yang akan semakin percaya bahwa kebudayaan lokal (dalam hal ini Jawa) sebagai sesuatu yang tak lebih dari hal-hal berbau klenik.
Cuma, sebenarnya saya tak paham, kenapa KKN di Desa Penari bisa sedemikian laku. Padahal, kalau dipikir-pikir, jelas jauh lebih menakutkan KKN di Rezim Oligarki: terus-terusan diputar secara gratis, dan – meski sudah tayang puluhan tahun – belum ada tanda-tanda bakal turun layar.