Tengkorak yang Gagal Bercerita

Satu syarat mutlak untuk bisa melontarkan pujian adalah ada sesuatu yang bisa dipuji. Pelajaran receh semacam itulah yang saya dapat usai menonton film Tengkorak (Akasacara Film & Vokasi Studios: 2018) garapan sutradara Yusron Fuadi.

Saya pertama kali tahu tentang film ini sekitar 2,5 tahun lalu. Saya mengikuti akun Instagramnya, dan selalu menonton perkembangan produksinya di kanal YouTube.

Militansi para sineas di balik produksi film ini membuat saya takjub. Dengan peralatan ala kadarnya dan dana yang sepertinya juga pas-pasan, mereka berjibaku untuk memproduksi sebuah film yang digadang-gadang akan mendobrak kebekuan genre sains fiksi di dunia film Indonesia.

Menurut saya, ide dasar film ini sungguh aduhai dan berpotensi dikembangkan menjadi sebuah karya yang ciamik. Bayangkan saja, apa jadinya peradaban kita jika tiba-tiba ditemukan sebuah fosil tengkorak manusia berukuran raksasa? Kurang aduhai bagaimana, coba?

Atas dasar itulah, tanpa berpikir panjang, saya langsung memutuskan menonton film ini di bioskop, tepat di hari pertama pemutarannya. Bahkan, sebelum berangkat, saya sudah berencana akan membuat tulisan puja-puji untuk film ini, sambil berharap ada orang yang terprovokasi untuk ikut menontonnya.

Namun, rupanya saya luput. Saya lupa bahwa kita tinggal di sebuah belantara bernama kehidupan, di mana manusia dibebaskan untuk berencana, sementara di lain sisi, kenyataan juga punya kebebasan untuk memporakporandakannya.

Film ini berkisah tentang penemuan fosil tengkorak manusia berukuran 1.800 meter di sebuah bukit usai gempa berkekuatan 5,8 skala richter mengguncang Yogyakarta. Seketika, penemuan ini menggegerkan masyarakat dunia. Para ilmuwan saling berdebat, sementara para pemuka agama dibuat bertanya-tanya. Teori Darwin dan ajaran agama tiba-tiba mentah seketika.

Menyikapi penemuan ini, pemerintah Indonesia mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Keseluruhan penelitian ini bersifat tertutup. Untuk melindungi bocornya informasi, pihak militer merekrut masyarakat sipil untuk dijadikan pasukan rahasia yang diberi nama Tim Kamboja.

Film ini dibuka dengan gambar perbukitan yang diambil dari ketinggian. Informasi pembuka disampaikan melalui deretan kalimat yang ditulis dengan ukuran yang terlalu kecil. Hal ini membuat penonton yang duduk di kursi belakang seperti saya agak kesulitan untuk membacanya.

Di film ini, sekitar 80℅ dialog menggunakan bahasa Jawa, sehingga mengharuskan kreator mencantumkan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, jenis font dan (lagi-lagi) ukuran yang terlalu mini membuatnya agak kurang terlalu nyaman di mata.

Setelah adegan pembuka selesai, adegan berganti dengan beragam tayangan berita di televisi yang berisi komentar para pakar dari berbagai penjuru dunia serta pendapat masyarakat yang diulang-ulang dan terlalu  bertele-tele.

Dua tokoh utama di film ini adalah Yos (Yusron Fuadi) dan Ani (Eka Nusa Pertiwi). Yos adalah salah satu anggota Tim Kamboja, sementara Ani adalah seorang pekerja magang di BPBT. Petualangan keduanya mengingatkan saya dengan kisah-kisah konspirasi ala Dan Brown.

Sayangnya, Yusron cuma mengadaptasi tampilan permukaan Dan Brown, tapi tidak dengan logika ceritanya. Sepanjang film, penonton akan disuguhi beragam adegan nirmotif dan meloncat-loncat tanpa logika cerita yang kuat.

Yusron selaku penulis naskah dan sutradara, memosisikan dirinya serupa Tuhan yang bisa mengarahkan kisah dan tokoh-tokohnya secara semena-mena. Hingga yang terlahir adalah deretan deus ex machina yang tak habis-habis.

Salah satu contoh yang paling nyata adalah adegan di mana Yos secara tiba-tiba memutuskan untuk menyelamatkan Ani yang menjadi target pembunuhan Tim Kamboja. Usai melihat foto Ani disebar di grup WhatsApp (iya, kelompok pembunuh bayaran ini berkomunikasi via grup WhatsApp), Yos langsung berlari menuju kamar kos Ani dan membunuh anggota Tim Kamboja lain yang ditugasi membunuh Ani.

Usai adegan pembunuhan itu, Yos kemudian mengajak Ani melarikan diri. Penonton dibuat bertanya-tanya, kenapa Yos menyelamatkan Ani hingga tak segan-segan membunuh rekan satu timnya. Apakah Ani itu kekasihnya, anaknya, atau adiknya? Belakangan baru diketahui, ketika Ani menanyakan alasan itu, Yos menjawab sambil berteriak, “Soale rupamu kementhu!” Sungguh ajaib.

Seorang anggota tim pembunuh rahasia, menyelamatkan seorang calon korban cuma gara-gara wajah si calon korban itu bikin nafsu? Usai menjawab seperti itu, Yos menjelaskan bahwa dia langsung tertarik dengan Ani saat melihat Ani baru turun dari bus di halaman kantor BPBT. Selain itu, Yos sendiri juga mengaku muak dengan pembunuh yang ditugasi membunuh Ani, jadi semisal dia tak berupaya membunuh Ani sekalipun, Yos tetap akan menghabisinya.

Di titik ini, Yusron mengambil sebuah langkah yang paling mudah (dan banal) yang bisa dilakukan seorang kreator terhadap karakter-karakter di kisahnya. Di mata Yusron, plotnya adalah: Yos menyelamatkan Ani. Lalu, kenapa Yos menyelamatkan Ani? Karena, wajah Ani kementhu. Sudah, begitu saja.

Padahal, bisa saja tokoh Yos diberi alasan yang sedikit lebih kuat dalam melakukan tindakannya. Contohnya, karena wajah Ani mengingatkan Yos dengan adik kesayangannya yang meninggal usai diperkosa preman jalanan. Tapi, Yusron tidak melakukan itu. Wajah seorang perempuan yang kementhu sudah cukup untuk bisa membuat seorang pembunuh rahasia tiba-tiba menjadi insaf.

Keberadaan “tangan Tuhan” semacam itu tak cuma sekali saja terjadi. Kisah masa lalu yang membuat Yos direkrut menjadi anggota Tim Kamboja juga memperlihatkan banalitas serupa.

Yos masuk menjadi anggota tim rahasia itu karena direkrut seorang perwira militer bernama Jaka (Guh S Mana). Keduanya bertemu dalam sebuah aksi demonstrasi. Ketika itu, Yos menjadi salah satu demonstran, sementara Letnan Jaka menjadi aparat yang mengamankan demonstrasi. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Yos menyelamatkan sang letnan yang dikeroyok oleh rekan-rekan demonstrannya. Ketika soal itu ditanyakan oleh Ani, Jaka menjawab bahwa dia juga tak tahu alasannya, “Mungkin karena Yos tak suka dengan pengeroyokan.” Sesederhana (dan setaklogis) itu.

Adegan-adegan nirmotif semacam itu nyaris terus terjadi sepanjang cerita. Buku catatan kecil yang menjadi alasan Ani menjadi target pembunuhan juga baru dimunculkan di belakang, hingga dari awal penonton terus dibiarkan bertanya-tanya, “Kenapa seorang anak magang sampai dikejar-kejar oleh tim pembunuh yang dibentuk oleh negara?”

Kemunculan seorang penulis kisah konspirasi bernama Burhan (Muhammad Abe) juga terkesan tiba-tiba. Bayangkan saja, saat menghadapi kebuntuan ketika mengutak-atik kode rahasia, tiba-tiba Burhan mengatakan, “Jangan-jangan, jawabannya ada di depan kita!” Setelah itu, Burhan berlari ke luar rumah untuk mengecek kotak pos. Dan, voila! Di dalamnya ada benda kecil yang bisa digunakan untuk membaca microchip yang diselipkan di buku catatan yang dibawa Ani.

Tak begitu jelas juga, kenapa yang menggerebek markas sekte pemuja tengkorak (yang tak ditampilkan sisi bahayanya) adalah pasukan khusus antiteror, sementara yang menggerebek kediaman Yos (yang jelas-jelas seorang pembunuh anggota Tim Kamboja) justru hanya sekelompok polisi reskrim berkaus ala Turn Back Crime.

Pada hakikatnya, kisah fiksi adalah seni mengelabui. Seorang kreator fiksi, seharusnya berupaya sebisa mungkin untuk bisa mengelabui penikmatnya, sehingga sesuatu yang sesungguhnya fiksi tak lagi dianggap sebagai fiksi. Untuk itulah, sebuah fiksi yang baik, wajib menyertakan dasar logika dan motif yang kuat.

Kita boleh menciptakan kisah seabsurd apapun, bahkan semesta yang sama sekali lain dengan semesta yang kita tinggali saat ini, tapi bangunan cerita tetap harus logis. Di dunia nyata, sesuatu yang tak logis boleh-boleh saja terjadi. Contohnya, seorang tokoh yang tak henti menebarkan kebencian, bisa saja dielu-elukan sebagai tuntunan menuju jalan kebaikan. Tapi, jika di dalam fiksi, kreator harus menyertakan sesuatu yang bisa menjadi motif dari fenomena itu.

Beragam kekacauan di dalam plot film ini membuktikan ketidakmampuan Yusron mengolah jalan cerita. Seharusnya, ide awal dari Yusron diserahkan ke ahlinya, hingga bisa dieksekusi menjadi sebuah jalan cerita yang baik dan benar. Yusron mungkin memang bisa membuat film, tapi Yusron jelas tidak bisa merangkai sebuah cerita.

Namun, terlepas dari itu semua, saya secara pribadi menyukai adegan di mana Yos dan Ani berdebat di dalam menara pandang yang ditinggali Jaka. Adegan yang diambil dengan teknik one shot itu menampilkan dialog yang tampak natural di antara keduanya. Secara keseluruhan, akting Eka yang memerankan Ani cukup layak diapresiasi. Celetukan-celetukan khas Jawa yang bertebaran di sepanjang cerita juga tak jarang memancing tawa.

Jadi, jika ada yang bertanya, apakah Tengkorak ini film bagus? Saya akan menjawabnya, ya. Film ini bagus, ide awalnya. Kalau, hasil akhirnya?

Wassalam.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *