Menonton film Aruna dan Lidahnya (Palari Films: 2018), pada akhirnya melemparkan saya pada sebuah kesadaran, bahwa di tangan yang tepat, sebuah karya yang menyedihkan ternyata bisa dialihwahanakan menjadi sebuah karya baru yang menggembirakan.
Pada awalnya, Aruna dan Lidahnya adalah sebuah novel karya Laksmi Pamuntjak (GPU: 2014). Saking buruknya, saya sampai tak tega menyebut tulisan sepanjang 400-an halaman itu sebagai sebuah novel. Saya merasa lebih nyaman menyebutnya sebagai “gabungan antara panduan wisata kuliner (yang tanggung) dan kumpulan resep masakan (yang tak kalah tanggung)”.
Terus terang, saya agak malas menjelaskan keburukan novel ini secara detail. Karena, mungkin butuh waktu yang agak panjang. Cuma, secara garis besar, karakterisasi novel itu payah, alur superlambat dan berlarat-larat, konflik cuma begitu-begitu saja, dan gaya bahasanya cenderung biasa (sama sekali berbeda dengan gaya bahasa Amba, yang membuat saya bertanya-tanya, benarkah kedua novel ini ditulis oleh orang yang sama?).
Keberadaan pemikiran yang ndakik-ndakik dan nukilan karya-karya klasik semacam Kitab Adab Al-Akl (Al Ghazali) hingga Muktamar Para Burung (Farid Ud-Din Attar) membuat buku itu terlihat sebagai novel genit yang ingin tampak cerdas.
Saya masih ingat benar, usai membacanya bertahun-tahun lalu, saya secara semena-mena memberi buku itu poin 4,5 (dari skala 1 sampai 10). Untuk isi novel 2 poin, sementara 2,5 poin sisanya untuk pemilihan judul dan gambar sampul.
Atas dasar penilaian subyektif yang mungkin terdengar kejam itulah, saya akhirnya memaksakan diri untuk menonton film Aruna dan Lidahnya yang disutradarai Edwin.
Saya sungguh penasaran, apakah seorang sutradara yang pernah menyutradari film-film asoi semacam Babi Buta yang Ingin Terbang, Postcards From The Zoo, dan Posesif itu bisa mengubah karya buruk menjadi karya yang tidak buruk? Dan, ternyata memang bisa. Aruna versi Edwin ini, bisa dibilang jauh lebih aduhai ketimbang karya aslinya.
Pada intinya, Aruna dan Lidahnya bercerita tentang empat tokoh, yaitu Aruna, Bono, Nadezhda, dan Farish yang berkesempatan mengunjungi sejumlah kota di Indonesia. Aruna dan Farish bepergian dalam rangka menginvestigasi wabah Flu Burung, sementara Bono dan Nadezhda ikut dalam rombongan untuk berwisata kuliner.
Film Aruna dibuka dengan adegan di mana tokoh Aruna (Dian Sastrowardoyo), Bono (Nicholas Saputra), dan Nadezhda (Hannah Al Rashid), duduk di kursi penumpang sebuah mobil. Sementara Farish (Oka Antara) menyetir dengan kecepatan tinggi sambil memasang ekspresi marah. Hingga di satu titik, mobil ini mengerem mendadak karena segerombolan bebek yang menyeberang jalan, disusul dengan adegan di mana Aruna keluar mobil sambil membanting pintu.
Menurut saya, adegan itu lumayan asyik. Sebuah adegan sederhana yang berhasil membangkitkan rasa ingin tahu penonton, “Kira-kira mereka kenapa? Apa yang akan terjadi selanjutnya?”
Adegan pembuka ini sama sekali berbeda dengan Aruna versi Laksmi. Di dalam novel, Laksmi tampak berbusa-busa membuka cerita dengan kalimat sepanjang tujuh halaman tanpa titik yang berbelit-belit dan tampak tak ada motif lain selain keinginan untuk bergenit-genit.
Di versi film, Titien Wattimena selaku penulis naskah berhasil memilah dan memilih hal-hal mana saja yang dirasa perlu dan penting untuk ditampilkan ke penonton. Sementara di versi novel, Laksmi tampak ingin menuliskan semua yang singgah di dalam kepalanya, nyaris tanpa filter.
Itulah kenapa, di versi film, penonton akan lebih banyak dibuat ngiler dengan penampakan beragam jenis makanan dan proses membuatnya, serta drama di antara keempat tokoh, tanpa dinodai dengan secuil pun nukilan karya-karya klasik yang sempat saya singgung di atas tadi.
Titien cukup paham, yang paling penting dan menarik di film Aruna adalah kisah tentang makanan, silang sengkarut kehidupan asmara tokoh-tokohnya, dan konspirasi di balik wabah Flu Burung saja. Sementara tulisan Al Ghazali maupun Farid Ud-Din Attar yang dinukil secara banal di novel Laksmi, sama sekali tak penting di film ini. Buat apa, coba? Buat kasih lihat ke penonton, kalau kreatornya adalah pembaca karya-karya penulis dan pemikir besar?
Akting para pemeran di film ini juga tampak natural dan menyenangkan. Adegan di mana Aruna berpapasan dengan atasan Farish, yaitu Priya (Ayu Azhari), di seberang Hotel Prapatan itu, di mana Dian Sastro mengucapkan kalimat, “Bukannya saya ya, yang harusnya nanya? Ada apa ya, sebenernya?” dengan ekspresi dibuat-buat itu, sungguh membuat saya curiga, jangan-jangan Tuhan memang sungguh-sungguh ada? Keagungan semacam apa coba, yang bisa menciptakan sesuatu yang sedemikian menggemaskan?
Selain adegan itu, ada dua adegan lain yang entah kenapa terekam lebih kuat dibanding yang lain di otak saya. Adegan pertama adalah saat keempat tokoh duduk sambil makan di sebuah warung, sementara Aruna menyindir status Farish yang menjalin hubungan asmara dengan istri orang. Di dekat mereka, ada seorang pengamen memainkan gitar dan drum rakitan di punggungnya sambil melantunkan sebuah lagu yang menurut saya sangat pas, yaitu Panggung Sandiwara, “Peran bercinta, bikin orang mabuk kepayang.” Itu keren.
Sementara adegan favorit saya berikutnya adalah ketika Aruna dan Farish bertengkar di jalanan Singkawang, sementara keduanya dipisahkan atraksi liong yang sibuk meliuk-liuk. Suara keduanya yang saling memaki dan berteriak ditingkahi jedang-jedeng musik pengiring liong. Itu juga keren.
Sepanjang film, penonton juga disuguhi lantunan lagu-lagu lawas yang masih tetap layak didengar sampai hari ini sebagai musik pengiring adegan. Mulai dari “Aku Ini Punya Siapa” yang dinyanyikan Januari Christy, hingga “Antara Kita” ciptaan Andre Hehanusa & Adjie Soetama yang dinyanyikan Monita Tahalea, dan juga “Tentang Aku” milik Jingga yang dinyanyikan Fe Utomo.
Atas dasar hal-hal itulah, saya berpikir, bahwa karya-karya Edwin memang selalu layak untuk diwaspadai. Jika harus memilih, saya lebih memilih novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan (GPU: 2014) yang konon akan disulap Edwin ke layar lebar, ketimbang menunggu karya-karya Laksmi selanjutnya.
Dua novel Laksmi yang sudah terbit, yaitu Amba (GPU: 2012) serta Aruna dan Lidahnya, saya pikir sudah cukup menjadi bukti bahwa mungkin akan lebih baik kalau Laksmi mencoba menekuni bidang lain, selain menulis novel. Atau, semisal masih akan terus menulis novel, ya cobalah untuk menulis novel yang lebih beres dari yang kemarin-kemarin (sehingga jatah waktu yang saya buang untuk menggerutu bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih berfaedah).
Lagi pula, karya Laksmi yang menyedihkan saja bisa disulap Edwin menjadi sedemikian menggembirakan, apalagi karya Eka yang memang sudah menyenangkan dari sananya? Bayangkan saja, bagaimana jadinya petualangan seorang sopir truk yang tak lagi bisa ngaceng usai melihat orang gila diperkosa semasa kecilnya, digarap oleh Edwin menjadi sebuah film.
Lalu, apakah memang Aruna versi Edwin ini memang sedemikian sempurna, hingga harus dipuja-puji seperti ini? Tentu saja, tidak. Karena, bagaimanapun juga, kesempurnaan konon hanya milik Allah Ta’ala.
Di akhir film, tanpa sebab dan musabab, tiba-tiba saya menemukan sebuah lubang yang cukup besar di rangkaian kisah ini. Sebuah lubang yang tak akan mungkin bisa ditambal oleh siapapun. Tiba-tiba, saya jadi bertanya-tanya, tokoh Aruna itu sebenarnya agamanya apa? Semisal dia itu Islam, kok tidak berjilbab dan sepanjang perjalanan tak pernah salat? Usia Aruna itu sudah 35, tapi kok belum menikah dan malah suka jalan-jalan dengan lelaki yang bukan muhrimnya? Dia juga gemar keluar malam dan bahkan jajan sembarangan di pinggir jalanan Singkawang? Memangnya, makanan di sana itu halal? Jadi, Aruna itu agamanya apa ya, sebenarnya?
Saya baru membaca ulasan anda tentang film Aruna dan Lidahnya. Setelah Amba, saya memang punya ekpektasi yg tinggi pada Laksmi. singkat kata saya kemudian membaca novel Aruna dan Lidahnya. Alih-alih puas, saya merasa sangat menyedihkan karena memaksa diri membaca novel itu samapi selesai
Rasa penasaran membuat saya kemudian menonton versi filmnya. Edwin gitu lo. Seperti anda rasa penasaran terbayar tuntas. Cerita dengan plot yang sederhana berhasil mengajikan sesuatu yg bermakna. Percakapan-percakapan kecil ketika makan menjadi sesuatu yg asyik dan sangat keseharian. Saya ingat sekali mama saya sering memberi petuah ketika kami makan. Katanya biar makna petuah tersebut ditelan bersama nasi ke dalam perut.
Saya kebetulan adalah penikmat buku2 Eka Kurniawan dan Ayu Utami. Salam kenal. Ditunggu ulasan selanjutnya. Bravo buat anda
Terima kasih, sudah bersedia singgah dan membaca. Mari kita tunggu, apakah Aruna dan Lidahnya versi Edwin akan memborong penghargaan di FFI 2018.