Usai menonton film DreadOut (GoodHouse Production: 2019), saya sempat bertanya-tanya, apakah tokoh pocong yang memegang celurit itu ada sangkut pautnya dengan hantu komunisme yang masih bergentayangan di Indonesia? Cuma setelah saya pikir-pikir lagi, sepertinya tidak. Karena di film itu, tak ada pocong (atau hantu jenis lain) yang memegang palu. Saya justru menduga, pocong bercelurit itu mungkin semasa hidupnya adalah seorang pencari rumput. Namun, yang jelas, adegan ajaib itu telah sukses membuat film ini menjadi semakin absurd (dan buruk).
Saya menonton ini karena sutradaranya Kimo Stamboel. Bagaimanapun, saya adalah penggemar film-film slasher dan thriller karya Mo Brothers. Meski tak ciamik-ciamik amat, Rumah Dara (2009) dan Killers (2014) adalah dua film yang bisa menjadi bukti, bahwa Kimo dan sekutunya, Timo Tjahjanto, adalah sepasang sutradara yang layak diperhitungkan. Apalagi, sebelum DreadOut ini dirilis, Timo juga meluncurkan film horor tunggalnya, Sebelum Iblis Menjemput (2018), yang menurut saya layak dimasukkan dalam kategori lumayan.
Saya sempat menduga, mengingat keduanya sering bekerjasama dalam proyek film, karya Kimo akan sedikit banyak sekelas dengan karya Timo. Tapi, ternyata dugaan saya keliru. Jika Sebelum Iblis Menjemput berhasil menciptakan teror ke penonton tanpa perlu melibatkan simbol-simbol kebudayaan lokal, DreadOut justru sebaliknya. DreadOut tak lebih dari tipikal film horor Indonesia yang menempatkan kebudayaan lokal Indonesia sebagai sesuatu yang terbelakang, yang klenik, yang jahat, yang negatif, dan sejenisnya.
Pada intinya, film ini bercerita tentang sekumpulan remaja SMA kurang kerjaan yang gemar mengoleksi pengikut di media sosial. Demi bertambahnya jumlah pengikut itu tadi, mereka rela masuk ke sebuah gedung apartemen tua untuk membuat video untuk ditayangkan secara langsung di dunia maya. Di tempat itulah, mereka menemukan sebuah portal menuju dimensi lain.
Nah, dimensi lain ini ternyata adalah sebuah dunia tempat hidupnya para dedemit, termasuk pocong bercelurit yang saya sebutkan di awal tadi. Tokoh utama hantu di film ini adalah sesosok perempuan berkebaya merah. Seakan belum cukup untuk menampilkan simbol budaya lokal (yaitu kebaya) sebagai identitas kubu antagonis, Kimo masih merendahkan kebudayaan lokal dengan menyertakan simbol-simbol yang lain, seperti keris, rumah adat yang dihiasi ukiran tradisional, alunan musik sekaligus wujud fisik gamelan, dan (bahkan) dedemit yang bicara dengan bahasa Sunda.
Perang antara yang tradisional dan yang modern juga secara gamblang ditampilkan di film ini (dengan cara yang tak kalah konyol). Jika di film horor lawas sering dikisahkan bahwa para hantu bisa dikalahkan dengan doa dan kekuatan agama, di film ini, hantu-hantu itu justru kalah dengan lampu kilat dari telepon seluler. Coba, pesan apa lagi yang ingin diungkapkan Kimo, selain bahwa, “Yang tradisional itu buruk, dan bisa dikalahkan oleh yang modern.”
Semua itu digabungkan dengan akting para pemain yang seadanya, jalan cerita yang berantakan, motif yang tak jelas, serta adegan-adegan tak perlu. Bayangkan saja, ketika ada seorang siswi SMA yang masih sempat-sempatnya merapikan buku-bukunya yang tercecer saat dikejar-kejar hantu di dunia antah berantah. Bahkan, sejumlah adegan yang dimaksudkan menciptakan horor untuk para penonton, justru malah ditertawakan seisi bioskop. Apakah ada yang lebih menyedihkan ketimbang hal semacam itu?
Jadi, kesimpulannya, jika kau memang ingin membuang 95 menit waktu dalam hidupmu untuk sesuatu yang sama sekali tak berguna, tontonlah film ini.