E-KTP DAN PARA BEDEBAH

Suatu malam di 2010, saya menelepon Ibu saya. Ibu menyarankan agar saya menyempatkan diri pulang ke rumah.

“Kamu dapat undangan buat foto e-KTP,” kata beliau. Suaranya terdengar lemah. Almarhumah memang sedang sakit-sakitan ketika itu. Tubuhnya kian hari kian kurus dan ringkih.

Saya terpaksa menjawab, bahwa saya belum bisa pulang. Saya memang baru pindah kerja ke kantor baru. Tak mungkin buat saya untuk memenuhi undangan itu. Jakarta-Karanganyar bukan jarak yang dekat.

Ketika itu, Ibu bercerita. Tentang orang-orang di kampung saya yang berduyun-duyun ke kantor kecamatan. Tentang antrean yang mengular. Tentang nenek-nenek renta yang terpaksa berangkat subuh dan membawa tikar. Tentang mereka yang mau tak mau mengiyakan perintah dari pemerintah.

“Kalau bikin KTP-nya telat, nanti didenda Rp50 ribu,” Ibu masih merayu. Saya bilang tak apa, saya akan bayar dendanya.

Tapi, tentu saja tak semua tetangga bisa dengan enteng menjawab begitu. Mereka orang-orang yang hidupnya susah. Sebagian besar adalah petani, tukang bangunan, dan buruh pabrik. Uang Rp50 ribu tentu bukan perkara mudah.

Dan, kini, tujuh tahun telah berlalu. Ibu sudah beristirahat dengan tenang di samping almarhum Bapak. Sudah ada selembar e-KTP di dompet saya: bertumpuk dengan kartu-kartu tak penting lainnya. Sementara di layar TV dan internet, muncul nama-nama sekumpulan bedebah berikut angka-angka yang konon mereka kantongi dari proyek e-KTP.

Tiba-tiba saya teringat dengan Ibu dan beberapa perempuan tua kawan mengobrol beliau: Mbah Saminem, Budhe Sastro, dan Mbah Pawiro. Mereka sering bercanda di beranda rumah saya. Kini, mereka telah berkumpul di surga. Sementara bedebah-bedebah itu masih saja wara-wiri di layar TV: setelan keren dan senyum terkembang. “Saestu, Den. Mboten ngapusi. Mboten korupsi,” katanya.

Bajingan.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *