
Dear Mas Seno yang tergila-gila dengan senja,
Apa kabar, Mas? Sedang sibuk apa saat ini? Mohon maaf kalau sedikit mengganggu. Langsung saja ya, Mas. Saya cuma mau tanya, itu kenapa ya, kok sampul novel terbarunya menyedihkan begitu? Apa memang sengaja dibuat begitu?
Saya sebenarnya sudah menahan diri untuk tidak mengomentari sampul novel Drupadi ini saat melihatnya untuk pertama kali di sebuah toko buku beberapa bulan lalu. Tapi, kok rasanya tetap ngganjel, ya? Tak apa-apa kan, Mas? Bukankah memilih diam ketika melihat sebuah keburukan itu adalah sebuah dosa?
Iya, Mas. Saya tahu gambar di sampul itu karya Pak Danarto. Tapi, mau karya Van Gogh, Monet, atau Da Vinci sekalipun, kalau buruk tetap boleh disebut buruk kan, Mas? Jujur itu baik kan, ya?
Saya baca di sebuah media, Mas Seno katanya mengidolakan penulis sekaligus pelukis Danarto yang konon “berani menggambarkan setiap tokoh pewayangan dengan kreativitasnya sendiri atau di luar pakem yang ada.” Untuk itu saya sepakat, Mas. Gambar Drupadi di sampul novel Mas Seno memang benar-benar di luar pakem yang ada. Cuma gimana ya, Mas? Saya cuma heran saja, kalau Drupadinya seperti itu, kok lima bersaudara Pandawa itu mau ya sama dia? Hehehe… Tapi, ya itu persoalan selera sih, Mas.
Sebenarnya kalau memang mas Seno tetap keukeuh buat memakai lukisan itu di sampul novelnya, masih ada cara untuk membuatnya lebih menarik. Coba cari desainer yang lebih oke lah, Mas. Bukan yang baru belajar Photoshop kemarin sore dan belum paham apa itu nirmana, komposisi warna, serta tipografi. Font yang dipakai itu, Mas? Duh, itu nemu di dafont ya, Mas? Namanya apa, Mas?
Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mengatakan isi novel ini buruk, Mas. Karena, jujur saja, sampai sekarang saya belum membacanya. Saya cuma sempat baca nukilan-nukilannya dulu waktu dimuat jadi cerita bersambung di koran-koran.
“Jangan menilai isi sebuah buku dari sampulnya”, kata orang bijak begitu. Tapi, masa iya sih, harus seburuk itu? Tapi, ya tak apa sih, Mas. Itu kan novel Mas Seno, yang bahkan tidak disampuli sekalipun akan tetap diburu para pembaca dan penggemarnya yang lucu-lucu itu.
Coba kalau itu novel saya, bisa difatwa halal darah saya. Karena, siapalah saya ini. Saya itu kan cuma seorang pembaca cerewet yang mungkin jauh lebih tak penting ketimbang remah-remah roti basi (yang bahkan semut pun enggan mengerumuninya). Jangankan menulis novel, menulis surat cinta saja saya sulit.
Sudah dulu ya, Mas. Salam manis buat Sukab dan Alina. Tapi, ngomong-ngomong, mereka masih hidup kan, Mas? Apakah Sukab masih sedungu dahulu? Rela memotong selembar senja untuk perempuan yang sama sekali tidak mencintainya? Apakah Alina masih terdampar di puncak Himalaya? Kalau masih berhubungan dengan Sukab, tolong ditanyakan gimana cara dia memotong senja buat Alina dulu, Mas. Saya juga mau mencobanya, memotong senja untuk kemudian saya pajang di kamar. Biar kamar saya sedikit lebih keren dan tampak lebih hidup, Mas. Kan, lucu kalau di dinding kamar ada sesobek senja yang asli: ada debur ombak, cericit camar pantai, dan semburat warna jingga. Atau, mungkin Sukab masih punya potongan senja yang lain, Mas? Kalau semisal masih, mungkin boleh saya minta, Mas. Nanti ongkos kirimnya saya ganti, deh. (Terdengar mengada-ada ya, Mas? Memang. Cerpen Mas Seno itu kan memang mengada-ada.)
Terima kasih ya, Mas Seno. Sedikit saran saja, untuk terbitan Drupadi berikutnya, mungkin lebih baik kalau ganti desain sampul. Tapi, ya terserah Mas Seno, sih. Ini kan cuma saran saja. Sekali lagi terima kasih.
Salam manis,
Setyo A. Saputro