Siti Muntamah

“Hati-hati lho, nanti hamil,” kata Ibu saya suatu waktu. Ketika itu saya memang sedang menjalin hubungan spesial dengan seorang perempuan. Dia lumayan akrab dengan Ibu. Bahkan, dia sesekali berkunjung ke rumah ketika saya tak pulang karena bekerja di Semarang.

Saya hanya tertawa sambil menghisap rokok seperti biasanya, “Gimana bisa hamil, orang ga diapa-apain.” Ibu terus merajut sambil cemberut: tampak tak percaya.

Hubungan saya dan Ibu memang seperti itu: blak-blakan dan apa adanya. Ibu sering memberi saran yang ajaib. “Jangan lompat pagar lagi,” kata beliau setiap saya pamit untuk latihan teater. Telapak tangan kanan saya memang pernah dijahit akibat tertusuk jeruji besi, karena nekat melompat pagar usai pentas teater di kampus Unsoed Purwokerto.

Saya anak terakhir dari empat bersaudara. Sedari kecil, saya lebih dekat dengan Ibu ketimbang dengan Bapak. Sementara Bapak adalah seorang kepala SD yang agak kaku (di mana anak-anaknya selalu berkomunikasi dengan bahasa Jawa krama inggil), Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus “aktivis” di kampung.

Beliau menjadi pengurus di sejumlah organisasi perempuan, mulai dari PKK, Dharma Wanita, hingga Dasa Wisma. Di salah satu foto lama, Ibu tampak sedang berbaris bersama perempuan-perempuan lain. “Itu waktu latihan baris berbaris PNI,” katanya. Begitulah. Ibu saya dulunya seorang Marhaenis.

Ibu saya adalah Ibu terkeren di dunia. Sementara kebanyakan ibu konvensional memaksa anak-anaknya makan sayur-sayuran dan menghindari konsumsi Indomie yang berlebihan, Ibu saya justru sebaliknya. Ibu sangat paham hal-hal sederhana macam apa yang bisa membuat saya gembira dan bahagia.

“Goreng atau rebus? Pakai telur, ga?” Pertanyaannya setiap pagi ketika saya bersiap mandi. Saya masih duduk di bangku SMP saat itu. Kelak, di kemudian hari, saya baru sadar: mungkin Ibu tahu kapasitas otak saya yang berpotensi sanggup merebut negara dan menguasai dunia, makanya saya dicekoki Indomie sebanyak-banyaknya. Biar tak terlalu pintar.

Ibu saya anak terakhir dari 10 bersaudara. Lahir di sebuah kampung di pelosok Grobogan. Nenek saya meninggal ketika Ibu masih kecil. Ibu dirawat oleh kakak tertuanya. Budhe Purwodadi, begitu saya biasa memanggilnya. “Ibu dulu tak minum ASI. Sama Budhemu, Ibu dikasih kopi.” Itulah kenapa di rumah saya selalu ada Angkring atau Kapal Api.

Ibu menikah di usia yang masih belia dengan Bapak saya yang menjadi guru muda di sana. Beberapa tahun setelah menikah, keduanya hijrah ke tanah kelahiran Bapak di sebuah kampung di pinggiran Karanganyar. Di tempat itulah, saya lahir dan menghabiskan masa kecil hingga remaja.

Ibu tak lulus SD, tapi Ibu suka membaca. Ibu membaca apapun, mulai dari buku, koran, majalah milik Bapak, hingga kitab primbon Betaljemur Adammakna (yang selalu dibawanya ke mana-mana).

Tiap habis bermimpi, saya selalu iseng bertanya kepada Ibu tentang arti mimpi saya. Juga ketika kedutan di bawah mata atau di pipi kanan atau di bibir atas. Ibu akan dengan senang hati membuka-buka kitab rujukannya.

Begitu juga ketika saya dekat dengan seorang perempuan, beliau akan bertanya tentang hari lahir dan weton perempuan itu. Dengan bersemangat, beliau akan meramal sifat perempuan yang dekat dengan saya itu, dan menghitung peruntungan kami andaikan nanti kami jadi bersatu: kalian nanti akan kaya raya, punya anak banyak, salah satu dari kalian akan mati muda, dan sebagainya dan sebagainya. Ibu memang gemar membaca tanda-tanda semesta, salah satu hal yang sama sekali tak diturunkan kepada saya.

Ibu terkadang sangat berisik. Tapi, saya tahu, beliau menyayangi saya. Ibu pernah marah besar ketika saya bercerita bahwa orang tua seorang perempuan yang sedang saya dekati, (secara bercanda) menuduh saya sebagai pecandu narkoba (karena tubuh saya yang kurus kering ketika itu).

“Memang anaknya secantik apa?! Nuduh-nuduh anak orang sembarangan?!” Dan, karena itu, saya jadi punya alasan untuk tak melanjutkan usaha mendekati perempuan itu. “Ibuku tak setuju,” saya selalu menjawab begitu setiap ada yang bertanya tentang hubungan kami. Padahal, jauh sebelumnya, perempuan itu sudah lebih dulu punya pemikiran serupa: tak merestui (ada) hubungan (di antara) kami.

Ibu pernah mengangkut kembali majalah-majalah Krida milik almarhum Bapak yang rencananya akan saya buang. Daripada memenuhi lemari, pikir saya. “Jangan dibuang, ini peninggalan Bapakmu,” katanya sambil berlinang air mata. Sejak saat itu, saya tak berani lagi mengutak-atik majalah dan buku-buku Bapak. Sampai hari ini, semua masih ada di tempatnya semula.

Ibu juga pernah memasak sambil menangis ketika saya menyerahkan undangan wisuda saya. “Ini yang ditunggu-tunggu Bapakmu,” katanya. Bagi orang lain, lulus dari jurusan D3 Broadcasting mungkin bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Tapi, bagi Ibu saya yang tak mengenyam bangku sekolah dan (hanya) janda seorang guru SD, memiliki anak yang bisa lulus dari perguruan tinggi negeri adalah sebuah pencapaian yang luar biasa.

Ibu memang hampir selalu mendukung apapun pilihan saya. Termasuk ketika saya memilih kuliah D3 Broadcasting ketimbang S1 Sastra Indonesia. Saya dulu diterima di dua jurusan itu. Bahkan, ketika orang tua lain menyuruh anak-anaknya untuk serius kuliah dan menghindari kegiatan-kegiatan yang dirasa tak penting, Ibu saya melakukan hal sebaliknya. “Ini Andik habis pentas teater di Semarang dan Purwokerto. Dulu itu juga pernah pentas di Bandung. Sekarang lagi persiapan festival di Jogja,” katanya dengan wajah berbinar sambil membelai rambut gondrong saya di hadapan keluarga besar.

Sayang, Ibu tak berkesempatan melihat aksi saya di atas panggung. Tapi, Ibu memang tak memerlukan itu. Ibu percaya dengan saya. Apapun yang saya putuskan, Ibu yakin bahwa itu sudah benar-benar dipertimbangkan dan dilakukan semata demi kebaikan.

Ibu jugalah, sosok yang dengan semangat mengajak saya ke Pegadaian, ketika saya bilang bahwa saya diterima kerja di Jakarta sebagai wartawan. Saya berangkat ke Jakarta dengan kereta api kelas ekonomi, berbekal sejumlah baju ganti di ransel butut warna hitam, dan uang Rp2 juta hasil dari kalung emas dan giwang yang digadaikan.

Sekitar setahun setelah saya bekerja di Jakarta, Ibu terkena stroke. Berbagai upaya kami coba, mulai dari rumah sakit hingga pengobatan alternatif. Tubuh Ibu semakin kurus. Baju-bajunya semakin tampak kedodoran.

Suatu waktu, saya memutuskan pulang ke rumah. Ketika itu, Ibu tinggal di rumah kakak saya di Semarang. Kakak saya menelepon, “Ibu minta pulang. Mau ketemu kamu.” Saya dan kakak saya sepakat, Ibu akan dibawa pulang ke Karanganyar. Kami berencana membawa Ibu ke rumah sakit, setelah beliau beristirahat beberapa hari di rumah.

Di saat Ibu sedang menjalani masa istirahat, saya berkonsultasi dengan seorang dokter: ibu dari seorang kawan teater. Sang dokter berkunjung ke rumah saya. Setelah memeriksa kondisi Ibu, sang dokter berkata, “Mas, kasihan kalau Ibu dibawa ke rumah sakit. Saya ini dokter. Saya tahu apa yang akan dilakukan dokter di rumah sakit. Semua dokter akan melakukan hal yang sama. Ibu nanti paling hanya akan dipasang selang oksigen. Tak lebih.”

Saya berusaha mendebat. Tapi, sang dokter bersikukuh. Ibu saya tak ada harapan. Sang dokter hanya bisa memberi saran, “Kumpulkan keluarga, lantunkan doa, dan cari tabung oksigen.”

Dan, atas persetujuan kakak-kakak saya, itulah yang kemudian terjadi. Kami menghubungi anggota keluarga, kami menggelar doa bersama, kami meminjam dua tabung oksigen berukuran kecil dari Puskesmas terdekat. Hanya dua tabung itu yang kami dapat.

Malam kedua setelah kedatangan sang dokter, saya tidur di samping Ibu yang mulai tak sadar. Keluarga tak henti merapalkan doa di sekeliling beliau. Selang oksigen terpasang di hidungnya: itu tabung terakhir. Dini hari sekitar jam 03:00, saya dibangunkan kakak saya, “Oksigen di tabung habis.” Kami melepas selang. Kemudian saya pindah tidur ke sofa di ruang depan. Sekitar jam 05:00, pundak saya ditepuk pelan.

Saat saya membuka mata, kakak ipar saya menatap mata saya sambil menggeleng perlahan. “Ibu,” katanya setengah berbisik. Saya paham artinya. Titik itu akhirnya tiba. Titik di mana Ibu kembali bersatu dengan Bapak yang delapan tahun lebih dulu tinggal di surga.

Saya kemudian bangun, menghela nafas sebisanya, menghampiri ranjang Ibu, mengecup keningnya, dan berjalan ke luar rumah. Saya bakar sebatang rokok. Dan, pelan-pelan, ada yang meleleh dari mata saya. Segalanya tampak buram. Ribuan kenangan berkejaran. Ada sesak yang menyakitkan. Saya sepenuhnya runtuh ketika itu. Saya jatuh. Sejatuh-jatuhnya. Dini hari itu. Tepat enam tahun yang lalu.

 

Rawamangun, 30 Maret 2017

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *