Konservatisme di Panggung Teater

Sebelum membual panjang lebar, saya ingin menegaskan bahwa ini adalah tulisan saya tentang pentas teater Subversif! yang terakhir. Seperti sudah saya katakan di tulisan terdahulu, meski didukung nama-nama besar di panggung teater, pementasan oleh Institute Ungu tersebut adalah pementasan yang sama sekali tidak istimewa. Betapa banyak hal di dunia ini yang jauh lebih berguna untuk dilakukan ketimbang memperdebatkan pementasan yang sesungguhnya biasa-biasa saja. Betapa absurd jika sebuah perdebatan justru jauh lebih bermutu ketimbang karya yang diperdebatkan.

Tulisan ini terpaksa lahir untuk menanggapi tulisan Rendy Septiadi yang dimuat di situs ini beberapa waktu lalu. Terus terang, saya butuh waktu beberapa saat untuk benar-benar memahami, sebenarnya Rendy berdiri di sisi mana. Tulisan berjudul Ibsen Dikhianati Subversif! itu tampak sedikit ambigu. Rendy memulai paparannya dengan membantah gagasan saya, tetapi semakin ke belakang isinya justru semakin afirmatif. Setelah membaca dua kali, saya barulah memahami bahwa sesungguhnya Rendy bermaksud untuk membuat tulisan satire: berpura-pura membantah pemikiran saya padahal sesungguhnya tulisannya hendak menghajar Subversif! lebih keras. Sayang, niat mulia itu masih dirasuki keinginan untuk menghajar secara lugas hingga akhirnya menjadi sebuah tulisan yang tampak bias. Saya bayangkan, betapa tulisan itu akan memiliki daya hantam yang lebih aduhai andaikan Rendy konsisten untuk terus satire dari awal hingga akhir tulisan: menghajar tulisan saya habis-habisan dan (berpura-pura) membela Subversif! mati-matian didasari pengetahuannya tentang Henrik Ibsen tanpa membawa-bawa betapa bagus (dan benarnya) pementasan naskah Ibsen yang pernah dipentaskannya bersama Teater Sastra UI di tahun 2012 lalu. Namun, bagaimanapun juga, setiap usaha tetap layak untuk dihargai.

Seorang kawan pernah bertanya, apakah kritik semacam ini bermaksud menafikan usaha keras sang kreator di belakang proses penciptaan sebuah karya? Tentu saja tidak. Sebuah karya yang dilempar ke publik, adalah sepenuhnya milik publik. Publik itu anonim. Tak seorang pun, termasuk sang kreator, yang bisa mendikte publik tentang bagaimana cara mengapresiasi sebuah karya yang baik dan benar. Publik hanya berkewajiban membaca apa yang tampak, apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, bukan apa yang tidak tampak (termasuk tetes peluh dan air mata di balik penciptaan sebuah karya). Pengarang sudah mati, begitu istilah Barthes untuk menggambarkan lepasnya hubungan antara kreator dan karya yang sudah lahir. Jadi, kesimpulannya, jika ada seorang kreator yang menginginkan agar publik menghargai proses penciptaan di balik lahirnya sebuah karya, sesungguhnya itu tak lebih dari alibi yang muncul berkat kegagalan sang kreator dalam menghadirkan karya yang sanggup memuaskan publik (atau dengan bahasa lain: bagus). Itu hanya sah dan boleh dilakukan oleh kreator yang masih amatir (yang masih mencari jati diri, sedang dalam proses belajar, dan semacamnya), tetapi tidak oleh kreator profesional.

Dalam banyak hal, saya setuju dengan Rendy, termasuk tentang bagaimana akting para pemain Subversif! yang terlihat seperti sedang membaca naskah kepada para penonton hingga menyebabkan tempo pementasan sangat lambat, tentang kualitas vokal para pemain yang begitu menyedihkan, tentang betapa ganjilnya proyektor yang memperlihatkan gambar matahari dua dimensi hingga membuat pementasan tak ubahnya operet anak-anak, tentang musik yang sama sekali tidak membantu pertunjukan itu menjadi sesuatu yang lebih menarik, dan masalah-masalah teknis lainnya. Saya sependapat sepenuhnya dengan Rendy dalam hal itu. Namun, saya menolak bersepakat jika pementasan Subversif! dianggap telah mengkhianati Ibsen.

Sedari awal, Institute Ungu sudah menjelaskan, baik di publikasi mereka ataupun di buku program, bahwa naskah Subversif! ditulis oleh Faiza Mardzoeki dan merupakan hasil adaptasi dari naskah karya Henrik Ibsen yang berjudul ‘An Enemy of The People’. Artinya adalah: Subversif! bukanlah naskah karya Ibsen, melainkan (sekadar) karya adaptasi. Dari fakta sederhana ini, maka paparan Rendy yang panjang lebar dan tampak cerdas tentang bagaimana seharusnya pementasan naskah Ibsen itu dipentaskan sesungguhnya sudah runtuh sejak awal.

Panggung teater adalah sebuah ruang yang menawarkan berjuta kemungkinan. Siapa yang bisa melarang seorang teaterawan mengadaptasi naskah Waiting for Godot karya Samuel Beckett menjadi sebuah bentuk pementasan yang realis? Tidak ada. Sebuah teks barulah akan menemukan esensinya ketika sudah dibaca oleh pembaca. Lalu, apa sebenarnya yang mendasari Rendy menyebut pentas Subversif! mengkhianati Ibsen, sementara sejak awal sudah dijelaskan bahwa naskah tersebut tak lebih dari adaptasi dari naskah karya Ibsen? Jika menggunakan logika Rendy, saya berani memastikan bahwa mayoritas seniman teater di berbagai penjuru dunia ini sesungguhnya tak lebih dari seorang pengkhianat. Termasuk Rendra yang mengadaptasi The Robbers karya Friedrich Schiller menjadi pementasan berjudul Perampok yang gaya dan bentuk pemanggungannya tentu saja sangat jauh berbeda dengan Schiller. Begitu juga dengan Hiroshi Koike yang mengkhianati Begawan Vyasa karena dengan lancangnya bermain-main dan merusak naskah Mahabharata di pementasan mereka. Apakah hal itu juga menjadikan naskah Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang mempermasalahkan betapa kakunya sistem kasta di Bali dalam hal perjodohan menjadi haram untuk diadaptasi menjadi naskah dengan setting Jawa yang juga kental dengan tradisi bibit, bebet, dan bobot?

Di titik inilah, kita harus mengakui, bahwa konservatisme ternyata tak melulu ada di bidang politik, tetapi juga di panggung teater. Para seniman teater yang menganggap bahwa sebuah naskah teater adalah sesuatu yang teramat sakral hingga tak boleh dirusak dan dimaknai secara lain itu ibarat kelompok FPI di dalam tubuh Islam yang gemar membaca teks tanpa melihat konteks dan memiliki hobi mengafirkan mazhab lain yang mengimani pemikiran berbeda. Rendy sepertinya cukup paham, bahwa gaya realis yang dipilih Ibsen pada zamannya merupakan pemberontakan terhadap kebanyakan pementasan saat itu yang (mengutip kalimat Rendy): memainkan naskah-naskah puitis dan simbolik, romantis, dengan banyak bumbu-bumbu puisi dan akting mekanis. Lalu, apakah naskah-naskah Ibsen itu harus selamanya dipentaskan dengan cara Ibsen dahulu mementaskannya hingga akhirnya karya-karya itu menjadi semacam monumen usang dan berdebu yang tak boleh lagi untuk dibaca dan dimaknai dengan cara yang lain? Betapa menyedihkannya dunia teater jika memang begitu. Tulisan ini tentu saja bukan bermaksud untuk menyebut bahwa pentas Subversif! oleh Institute Ungu beberapa waktu lalu sebagai pementasan yang menyenangkan untuk ditonton. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin mengatakan: bahwa pentas itu buruk, tetapi tidak salah. Buruk dan salah jelas dua hal yang sama sekali berbeda.

*Tulisan ini pertama kali terbit di jakartabeat.net

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *