Asal kau tahu, aku sebenarnya sudah lama jatuh cinta padamu. Aku tak pernah benar-benar ingat kapan semua itu dimulai. Entahlah, dari dulu aku selalu ingat kapan cinta selesai namun aku tak pernah ingat kapan cinta dimulai. Aku tak tahu, apakah masalah daya ingat semacam ini hanya masalahku sendiri atau memang masalah semua orang yang sedang jatuh cinta. Suatu waktu aku sempat terpikir untuk membuat sebuah penelitian kecil-kecilan untuk lebih memahami tentang hal ini. Hasil penelitian itu mungkin akan kutuangkan dalam sebuah jurnal singkat yang akan kuberi judul: Analisis Tentang Inkonsistensi Daya Ingat Pada Individu yang Sedang Mengalami Prosesi Jatuh Hati. Namun semua itu urung kulakukan karena aku kesulitan mencari obyek penelitian. Tentu saja aku akan dengan mudah menemukan orang yang sedang kasmaran. Tapi faktanya: orang-orang yang sedang jatuh cinta cenderung lebih suka melakukan hal-hal bodoh untuk dirinya sendiri. Mereka lebih suka mengurung diri di balik pintu kamar untuk merenungi kecemasannya daripada mengisi kuesioner yang kubagikan. Mereka menganggap apa yang sedang kulakukan sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna: seakan apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang mulia dan bukan dari jenis ketololan yang sama.
Kata ibuku, jatuh cinta itu tak ubahnya menelan sebutir kepompong yang dalam waktu singkat akan menjelma denyar yang tak henti bergeletar. Dan begitulah yang terjadi pada diriku ketika jatuh cinta denganmu. Aku seperti melemparkan sebutir kerikil ke tengah danau yang sebelumnya tenang sepi gelombang. Aku mulai suka membongkar tumpukan kaset-kaset usang dan memutar lagu-lagu sumbang yang tiba-tiba saja terdengar jauh lebih merdu di telingaku. Aku mulai menyukai hujan dan bau tanah basah yang mengingatkanku akan suasana petang di kampung halaman. Seringkali aku menemukan diriku sedang menyulut sebatang gelisah dan menyesap asapnya pelan-pelan untuk kemudian kudiamkan dalam waktu lama di dasar paru-paru. Kadang kelaminku berkedut ketika dengan malu-malu membayangkan dirinya melesak ke dalam dirimu di gigil malam yang gulita. Aku mulai menjemput pagi dengan semangat anak kelas lima sekolah dasar yang sedang belajar menggambar dengan warna yang benar. Aku mulai menyadari bahwa langit-langit kamarku terlihat jauh lebih biru dari hari-hari yang lalu. Aku mulai paham bahwa diriku sedang berada di ambang masalah sementara di saat yang sama aku merasa sanggup menguasai dunia dengan sekadar tertawa. Aku mulai teringat kembali dengan setumpuk mimpi yang bertahun lalu kutaruh di sebuah laci yang kini teronggok di gudang belakang rumah masa kecilku. Aku mulai merasa tiba-tiba menjadi sangat-sangat tua sekaligus kembali menjadi seperti remaja yang hobi bersolek di depan kaca. Aku mulai bertanya-tanya tentang hal-hal kecil: kenapa kunang-kunang lebih suka berkeliaran di waktu malam dan kemana mereka pergi saat siang datang menjelang.
Tiba-tiba saja kau menjelma sesuatu yang sungguh indah. Segala sesuatu yang kau lakukan tampak sama sekali tak pernah salah. Aku mulai menggigil ketika melihat sesobek fotomu yang diam-diam kusimpan di dalam dompetku. Aku mulai menyukai segala hal yang berhubungan denganmu: hidung bangirmu, mata bulatmu, pipi ranummu, dan semua cerita yang keluar dari bibir lucumu. Pernah suatu kali kau bercerita tentang sepenggal masa lalu di mana kau masih cukup belia dan menganggap dunia ini semacam taman bermain raksasa. “Aku dulu suka menyanyi”, katamu, “Juga menari”, lanjutmu. Dan gerimis pecah. Kau bicara tentang berbagai macam bunga mulai dari melati yang sungguh kau sukai hingga kamboja yang kau benci setengah mati. Juga tentang sesemak tanpa nama yang merimbun di sudut halaman rumah masa kecilmu tempat di mana kau biasa berbaring menatap benih-benih bintang saat adzan maghrib menelusup di sesela awan yang mulai menghitam. Saat seperti itu, nenekmu akan memanggilmu dengan panggilan lembut memintamu untuk segera mengambil air wudhu dan minum segelas susu. “Ketika pagi aku sering pergi ke pasar sendiri”, tiba-tiba kau mengubah tema pembicaraan. Sementara aku tak berhenti menatap matamu yang telah berhasil memaksaku mengemas tas ransel secara serampangan, menyambar peta buta dan kompas rusak untuk kemudian memulai petualangan meski tak mengenal jalan. “Pasar itu berada di dekat terminal”, kau mulai bercerita tentang tempat itu. Tempat di mana ratusan orang berjejalan: penjual ikan membuka lapak di dekat pedagang kaset bekas, poster artis berdampingan dengan cabai merah, bawang putih dan kaos kaki, daging sapi dan terasi, tembakau cincang dan es lilin. “Aku suka es lilin”, katamu, “Yang merah muda”, kau bilang sambil tertawa, “Rasanya seperti cinta”.
Suatu kali kau pernah bercerita tentang sebuah pintu di puisimu: yang terbuka dan ada seseorang yang lupa untuk menutupnya. Kau bilang, “Yang selalu lupa menutup pintu itu cuma asu”. Ah, betapa sebenarnya aku ingin terbahak ketika itu. Asal kau tahu, betapa dirimu tak cukup pantas melemparkan makian semacam itu. Lalu di paragraf kedua kau mulai menulis tentang senja. “Kau suka senja bukan?”, kau bertanya di sesela tawa. Sementara aku hanya tersenyum sambil menghembuskan asap rokokku. Dan setelah terdiam sesaat; tepat ketika rintik mulai menitik; kau pun kembali membaca. Kali ini tentang komidi putar dan jalan sempit yang teramat pengap. Jembatan yang tinggal tiang-tiang. Mayat-mayat berserakan. Tak juga habis-habis. Tak kan juga habis-habis.
Dan seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta di layar tivi, aku juga suka mulai menulis puisi. Aku mulai sering gelisah tanpa sebab di malam hari. Dan ketika itu terjadi, tak ada yang bisa kulakukan selain menuliskan apa-apa saja yang tiba-tiba terlintas di dalam kepalaku. Pada suatu waktu aku menulis puisi tentang sabtu terburuk dalam hidupku dan senin yang sabar menunggu. Lalu di hari lain aku menuliskan puisi tentang perjalanan maha panjang tanpa tujuan. Puisi tentang gaun pengantin dan sesobek senja yang kutemukan tanpa sengaja. Puisi tentang perahu kertas di hujan yang menderas. Puisi tentang setitik embun yang menyetubuhi rerumput di pagi hari. Puisi tentang pendar lampu-lampu kota di malam yang gila. Puisi tentang Tuhan dan segala macam perang yang dia ciptakan. Puisi tentang kelaparan dan usus terburai di seberang lautan. Puisi tentang genangan kopi di malam-malam sepi. Puisi tentang kupu-kupu bersayap biru di seprai ranjang tidurmu. Puisi tentang nada minor di pentas jazz jalanan. Puisi tentang tai kuda bernama kebenaran. Puisi tentang hening yang menjelaga di dekat pusara. Puisi tentang penyair sinting yang mengiris nadi di alun-alun kota. Puisi tentang kain kafan dan kebahagiaan. Puisi tentang warna-warni pelangi di langit pagi. Puisi tentang langkah-langkah kecil yang menapak di tanah basah. Puisi tentang agama dan segala macam omong kosong sejenisnya. Puisi tentang keparat-keparat tua yang terlahir bahagia. Puisi tentang anjing yang menggonggong di pelupuk hari, Puisi tentang kita dan segala macam tanda tanya sejenisnya. Puisi tentang meletusnya balon hijau. Puisi yang membuat hatiku sangat kacau.
Begitulah. Aku memang sungguh sudah lama jatuh cinta padamu. Dan semua itu terjawab pada suatu pagi, ketika tiba-tiba kau datang dan berkata bahwa kau sendiri juga sedang jatuh cinta. Bukan denganku tentu saja. Dan pada hari yang lainnya kau datang kembali, “Dia juga jatuh cinta padaku!”, teriakmu sambil ketawa-ketiwi. Permen lollypop di tangan kiri. Kau dan lelakimu itu kemudian saling jatuh menjatuhi cinta. Senyummu mekar tiap hari. Semakin lebar tiap datang mentari. Lalu suatu sore kau menemuiku untuk kemudian bercerita panjang lebar, bahwa lelaki yang kau jatuhi cinta itu dulu juga pernah jatuh cinta dengan orang lain yang juga jatuh cinta dengannya. Tapi karena suatu hal, perempuan yang dulu sempat dijatuhi cinta oleh sosok yang sekarang menjatuhi cinta dirimu sekaligus kau jatuhi cinta itu justru menjatuhi cinta orang lain yang kebetulan juga jatuh cinta dengannya. “Dia takut kehilangan lagi”, katamu, “Dia takut aku jatuh cinta padamu”, lanjutmu. Ah, zaman boleh saja berganti. Tapi betapa cinta selalu saja berhasil menakut-nakuti.
I would like this!!!
Terima kasih 🙂