Isa, Maria Menunggumu

Kau tiba-tiba muncul di depanku. “Jika secangkir kopi selalu berhasil membuatmu berdebar-debar, mungkin kau akan betah berlama-lama berbincang denganku.”

Aku belum benar-benar mampu mengatasi rasa terkejutku, tapi kau sudah melanjutkan, “Karena itu artinya kita adalah spesies yang sama”. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, kau langsung duduk di hadapanku.

Perlahan aku menutup novel The Sound Of Butterflies yang sedang kubaca sambil menatapmu meletakkan secangkir kopi di atas meja. Aroma cappuccino menguar sementara kau mengulurkan tangan kanan, “Namaku Isa, dan aku bukan nabi.” Aku tahu kau mencoba melucu, dan kau pasti juga tahu bahwa aku sama sekali tak tertawa.

Kafe tak begitu ramai sore itu. Hanya ada sepasang kekasih yang duduk agak jauh di ujung sana, berseberangan dengan meja kita (atau sesungguhnya lebih tepat jika disebut sebagai mejaku: yang kemudian menjadi meja kita karena kau secara semena-mena langsung duduk di depanku tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu). Sementara seorang gadis berkepang dua dengan kaca mata minus tebal tengah membaca sebuah buku entah apa di dekat jendela sebelah kiri kita. (Asal kau tahu, dia tak pernah mendongakkan kepala dari awal aku duduk di kursi sekitar 30 menit sebelumnya, bahkan ketika pelayan mencoba menawarinya gula. Mungkin dia sedang membaca sesuatu yang sangat penting semacam ajaran agama baru atau tips agar hidup bahagia di dunia dan akhirat atau hal-hal semacam itu.)

Aku sesungguhnya masih tak habis pikir bagaimana kau bisa tiba-tiba nekat untuk menyapa dan kemudian duduk di hadapanku. Namun, aku sebenarnya lebih tak habis pikir: bagaimana aku bisa tak mengusirmu. Entah kenapa, aku hanya merasa bahwa aku tak punya alasan untuk melakukan itu. Aku sama sekali tak melihat ada niat jahat di wajahmu. Ada semacam ketulusan yang secara samar kubaca di senyummu.

“Aku pernah menyukai kupu-kupu.” Kau melirik novel yang kutaruh di dekat cangkir latte-ku. Kau tak menunggu jawabanku ketika itu (mungkin karena kau tahu bahwa aku memang sama sekali tak berniat menjawab). “Las Mariposas. Para kupu-kupu. Kau bisa menyebutnya di Dominika, dan lihat bagaimana masyarakat di sana tergetar seketika.” Aku baru menyadari, bahwa rupanya memang begitu caramu membuka sebuah percakapan. Aku sungguh tak tahu bagaimana kau mendapatkan kemampuan semacam itu. Kau membuka sebuah perbincangan tidak dengan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan.

“25 November 1960, tiga bersaudari ditemukan tewas di dekat puing sebuah jeep di dasar jurang di kawasan pantai utara Republik Dominika. Koran pemerintah menyebutnya sebagai kecelakaan. Tak disebutkan bahwa saudari ke empat masih hidup. Tak dijelaskan pula, bahwa gadis-gadis itu adalah pemimpin gerakan perlawanan yang menentang pemerintahan Jenderal Rafael Trujillo. Tapi itu tak perlu. Karena rakyat tahu belaka, mereka adalah Las Mariposas yang dibungkam oleh negara.”

Aku mendengar ocehanmu. Ceritamu menarik. Aku bahkan harus mengaku bahwa itu informasi yang baru buatku. Tapi menurutku, cara berceritamu justru jauh lebih menarik. Kau memiliki wajah orang baik. Ah, bagaimana aku menjelaskannya? Tentu saja aku bukan termasuk salah satu dari orang-orang yang gemar menilai seseorang dari penampilan. Aku tak setuju jika ada yang menilai bahwa orang yang berambut gondrong dan bertato sebagai orang yang jahat (atau setidaknya bukan orang yang baik). Tapi harus kuakui, kau memiliki wajah orang baik. Aku tahu itu. Sebagai wartawan aku mengenal banyak orang. Aku cukup terlatih untuk membedakan mana orang yang tulus dan mana bajingan tengik yang sedang memakai topeng. Dan wajahmu? Itu wajah orang baik. Matamu seperti mata orang yang menunggu. Sementara alismu meningatkanku akan almarhum ayahku. Terlebih ketika kau menanyakan sesuatu padaku: kau mengangkat alis kirimu sedemikian rupa. Dan janggutmu itu? Berapa lama kau tak mencukurnya?

“Jangan kau rusak sayapnya, ibuku pernah berkata begitu ketika aku masih suka mengejar dan menangkap kupu-kupu ketika kecil dulu.” Aku tahu kau sedang memulai sebuah percakapan baru. “Kau harus cukup lembut memperlakukannya. Seperti perempuan.” Kau tertawa kecil di titik itu. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya kau tertawakan. Apakah kau tak setuju dengan ibumu tentang bagaimana cara memperlakukan wanita? Atau ada sesuatu dari ekspresiku yang lucu saat itu? Ah, sepertinya tidak. Seingatku aku tak berekspresi apa pun ketika itu.

“Ngomong-ngomong, apakah kau sedang menunggu sesuatu?” tiba-tiba kau bertanya padaku. Kau kembali mengangkat alis kirimu (yang lagi-lagi mengingatkanku dengan almarhum ayahku). Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Bukankah semua orang pada hakikatnya sedang menunggu? Tapi aku tak mengatakan hal itu padamu.

“Ah, tapi bukankah pada hakikatnya semua orang memang sedang menunggu,” katamu.

Astaga! Bagaimana kau bisa membaca pikiranku?

Aku mulai khawatir bahwa sebenarnya kau adalah seorang cenayang atau tukang hipnotis yang sedang mencari korban atau bahkan penyihir. Penampilanmu memang sedikit meyakinkan untuk profesi itu. Kau mengenakan jeans hitam dan kemeja hitam ketika itu. Tapi matamu bukan mata orang jahat. Matamu adalah mata yang menunggu. Wajahmu jelas bukan wajah penyihir. Wajahmu wajah orang baik. Atau mungkin kau seorang penyihir yang baik?

Kau menyesap kopimu untuk ke sekian kali kemudian menatap cangkirnya lama-lama. Mata itu? Apakah kau sedang menyesali sesuatu?

“Apakah kau pernah menyesal?” kau menatap mataku dengan tatapan yang sungguh mati masih sangat kuingat hingga sekarang. “Apakah kau juga akan menyesali perbincangan kita ini?” Aku tersenyum tipis. Bukan apa-apa sebenarnya. Namun, betapa lucu kau menyebut apa yang kita lakukan saat itu sebagai perbincangan, sementara sedari awal (seingatku) aku tak pernah mengatakan sepatah kata pun? Bukankah ketika itu kau adalah satu-satunya pihak yang terus berbicara dan bertanya?

“Kau tahu, bahwa berpuluh tahun dari hari ini kita hanya akan menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan, bukan apa yang telah kita lakukan,” kau mengatakan itu seakan kau adalah orang yang memang datang dari masa depan dan oleh karenanya telah tahu dengan pasti apa yang nanti akan terjadi. Tentu saja aku tak menjawab pernyataanmu. Jangankan berpuluh tahun kemudian, apa yang akan terjadi esok hari pun aku enggan memikirkannya.

Aku menatap cappuccino di hadapanmu saat kau berkata, “Aku memang tak begitu cocok dengan espresso, jantungku selalu berdebar tak habis-habis saat menikmatinya.”

Apakah kau memiliki masalah dengan jantung?

“Aku tak tahu, apakah memang ada yang salah dengan jantungku. Tapi bukankah sesungguhnya hidup adalah sebuah kesalahan?” Kau mengatakan itu sambil melempar tatapan jauh ke luar jendela. Ke arah kemacetan sore di Jakarta.

Kenapa?

“Aku tak tahu jika kau tanya kenapa. Aku sungguh tak tahu,” suaramu begitu pelan.

Sadarkah kau, bahwa di titik itu kau seperti kanak-kanak yang rindu pelukan ibu? Kau seperti seorang bocah yang baru saja kehilangan layang-layang dalam sebuah permainan di lapangan.

“Ketika kecil dulu aku suka bermain layangan.” Kau menatap cangkirmu sambil mengusapnya dengan jemarimu. Adakah kau rasakan kehangatan di sana?

“Aku bermain bukan untuk menang. Seperti kata ibuku, aku harus belajar tentang cara kehilangan.” Bagaimana wajah ibumu? Apakah kau mewarisi raut wajah orang baik dari dia?

“Ibuku merasa perlu mengajariku tentang cara kehilangan setelah mayat ayahku ditemukan di dalam karung di dekat alun-alun kota.” Kau mengatakan itu sambil lalu. Seakan itu bukan sesuatu yang penting dan menarik untuk diperbincangkan. Sebagai seorang wartawan seharusnya aku berminat untuk menggali kisahmu itu. Tapi aku sedang tidak berperan sebagi seorang wartawan, bukan? Bukankah ketika itu aku lebih mirip sebagai seorang pendeta yang berdiri di dalam bilik pengakuan dosa yang sedang mendengarkan kisah-kisahmu? Atau tidak? Toh kau tak sekali pun mengakui sebuah dosa di hadapanku ketika itu.

“Apakah kau percaya Tuhan?” kau melemparkan pertanyaan. Aku menyesap latte di cangkirku. Sementara speaker melantunkan The Spirit Carries On, lagu yang belakangan sering kunikmati ketika berdiri diam di bawah pancuran sambil memikirkan kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan dalam hidupku.

“Si brengsek itu sepertinya memang terlalu bertindak sesuka hati.”

Aku terperangah. Aku memang bukan seorang religius yang gemar bicara tentang surga dan neraka, tapi sungguh mati baru kali itu aku menemukan seseorang yang menyebut Tuhan dengan sebutan Si Brengsek dengan begitu entengnya. Apakah kau sedemikian benci kepada Tuhan?

“Aku tidak membencinya. Aku hanya menganggap dia itu brengsek. Tak lebih.” Kau tak melanjutkan bicaramu. Wajahmu terlihat agak lucu ketika menampilkan ekspresi sebal seperti itu. Kedua alismu saling merapat satu sama lain. Rahangmu mengatup sedemikian rupa sementara di waktu bersamaan ada guratan-guratan tipis di dahimu.

Tepat ketika lagu berganti, aku melirik jam di tangan kiriku. Kupikir sudah waktunya untuk pulang. Ah, pulang. Mungkin sesungguhnya akan lebih tepat jika aku menyebutnya sebagai: kembali ke rumah. Namun, apakah memang benar itu rumahku?

“Ah ya, kau harus pulang,” katamu seraya menatapku dan tersenyum. “Apa kalimat terbaik untuk merayakan perpisahan kita? Sampai ketemu? Atau selamat tinggal?” Kau mengulurkan tangan. Aku menjabat tanganmu. Genggamanmu terasa begitu kuat, sementara matamu menatap lekat kedua mataku. Apakah kau tak rela dengan perpisahan kita? Aku mengemasi buku untuk kemudian berdiri dan melangkah pelan meninggalkanmu. Aku ingat, aku sama sekali tak menoleh ke belakang ketika itu. Aku tahu belaka, bahwa kau sedang menatapku dan mungkin sedang berpikir apakah kita akan bertemu kembali. Tapi aku tetap tak menoleh ke belakang. Karena (seperti kau bilang) aku harus segera pulang.

Hingga pada akhirnya, hari ini aku di sini. Di meja inilah sekitar enam bulan lalu kita berbincang. Sejak pertemuan kita yang pertama (dan sekaligus yang terakhir) itu, aku selalu menghabiskan senja di tempat ini. Sebisa mungkin di meja ini. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya kurasakan. Tapi harus kuakui, bahwa aku rindu suaramu. Aku ingin mendengar bualan dan kisah-kisahmu. Aku sungguh ingin tahu banyak hal tentang ibumu. Juga ayahmu. Apakah dia bertato? Apakah dia sengaja dilenyapkan Orde Baru? Apakah sampai sekarang kau masih suka mengejar kupu-kupu? Aku sudah meninggalkan nomor teleponku untuk pelayan-pelayan di sini. Aku meminta mereka untuk menghubungiku jika melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri sepertimu terlihat di sini. Aku meminta mereka untuk memberanikan diri bertanya padamu, “Apakah Bapak bernama Isa?” dan ketika kau mengangguk, mereka kuminta untuk mengatakan padamu, “Ibu Maria meninggalkan nomor teleponnya untuk Anda.”

Namun, setiap sore ketika aku ke sini, mereka hanya melemparkan senyum penuh penyesalan sambil menggelengkan kepala untuk kemudian mengantar secangkir latte padaku. Aku sungguh ingin mengatakan padamu, bahwa aku tak pernah menyesali perbincangan kita ketika itu dan aku sama sekali tak sedang menunggu. Aku hanya sedang berlari. Kau tahu, kau butuh lintasan lari yang cukup panjang ketika ranjang tidurmu sudah menjadi semacam neraka bagimu. Kau butuh secangkir kopi agar tetap bisa berpura-pura: bahwa kehidupanmu tetap baik-baik saja tanpa kurang suatu apa, bahwa kau masih mencintai sepenuh hati seseorang yang kini menjadi ayah dari anak lelakimu.

Apakah saat ini kau sedang menceritakan kisah-kisahmu ke orang lain di suatu tempat di luar sana?

Isa, Maria menunggumu.

**Tulisan ini pertama kali terbit di jakartabeat.net

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *