Istirahatlah Kaka-Kaka

Begini, Kaka-kaka. Menjadi kiri itu memang seksi. Sangat seksi. Tapi, kalau yang condong ke kiri cuma kepalanya, sementara perutnya serong ke kanan, ya sama saja omong kosong. Berbusa soal perjuangan kaum proletar sambil ngebir di kafe mahal? Bicara kerakyatan sembari nongkrong di kedai kopi multinasional? Sungguh, itu menyedihkan.

Wiji Thukul itu penyair yang lahir dari rahim kemiskinan. Baginya, puisi itu laku hidup, bukan gaya hidup. Thukul menulis untuk melawan, bukan untuk gaya-gayaan (apa lagi untuk menggaet hati perempuan). Thukul menulis puisi tentang kelaparan karena memang sedang lapar, bukan karena melihat orang lapar. Beda dengan dirimu, kan?

Tapi, ya mau bagaimana lagi. Sekali lagi, kiri itu seksi. Kita hidup di zaman ketika iman dan perlawanan adalah komoditas empuk yang bisa dikomersialisasi sesuka hati. Jadi, tak perlu heran ketika kau lihat seseorang pakai kaos bergambar Guevara sambil nonton konser jazz bertiket seharga jutaan, tak perlu kaget ketika ada keramaian Festival Belok Sana atau Festival Belok Sini, dan semacamnya dan semacamnya.

Hidup itu melelahkan, Kaka-kaka. Manusia butuh harapan untuk bisa bertahan. Karena itu manusia merasa perlu menciptakan pahlawan-pahlawan, perlu melahirkan berhala untuk ditaruh di altar sesembahan. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Karena ya itu tadi, manusia butuh harapan, dan manusia bebas melakukan perayaan. Jadi, (sewagu apapun) silakan saja berpesta pora. Hidup itu kurang seru kalau tak wagu.

Tapi jangan lupa, Kaka-kaka. Sekali-kali istirahat. Kalau tidak, kalian nanti kelelahan, lho. Dan, buat mereka yang menjadikan penderitaan dan semangat perlawanan semata sebagai komoditas belaka, izinkan saya menukil satu kata paling keren yang diucapkan tokoh Thukul di film Istirahatlah Kata-Kata: “Kirik!”

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *