Mendadak, lampu yang mengarah ke kursi penonton menyala. Tak berapa lama, terdengar celetukan dari bangku penonton, “Mana nih, Dokter Torangga?”. Kalimat itu kemudian disusul keriuhan dari berbagai sudut. Suasana yang tampak artifisial itu membuat penonton sadar, bahwa dari awal pertunjukan, sejumlah aktor sengaja disusupkan ke kursi penonton untuk terlibat dalam adegan rapat akbar warga Kota Kencana. Ketika suasana semakin hiruk pikuk, dua perempuan muncul dari pintu samping ruangan untuk mengedarkan selebaran. Baru setelah itu, Dokter Torangga dan sang istri muncul di belakang mereka, berjalan ke atas panggung sambil menyapa para penonton.
Itulah sekelumit adegan dari pementasan teater Subversif! oleh Institut Ungu yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada 14 Maret 2015 lalu. Sebuah usaha yang menarik untuk membuat penonton seakan-akan dilibatkan dalam kisah di atas panggung. Meski dengan terpaksa, saya harus mengatakan, itu tak banyak berguna.
Subversif! adalah naskah teater yang ditulis oleh Faiza Mardzoeki yang selama ini dikenal sebagai pendiri dan Direktur Institut Ungu, sebuah organisasi perempuan yang mempromosikan kesetaraan gender, HAM, dan pembebasan perempuan lewat media seni dan budaya. Naskah ini diadaptasi dari naskah klasik Enemy of The People karya dramawan Norwegia, Henrik Ibsen (1828-1906). Pementasan ini disutradarai oleh Wawan Sofwan, aktor dan sutradara yang sudah malang melintang di panggung teater nasional dan internasional sekaligus pendiri Mainteater di Bandung.
Sejumlah nama aktor dan aktris yang terlibat dalam pementasan ini pun tidak main-main. Ada Teuku Rifnu Wikana, aktor teater dan film yang berperan sebagai Dokter Torangga; Ayez Kassar, aktor senior lulusan IKJ yang berperan sebagai Wali Kota Jokarna; Sita Nursanti, personel kelompok vokal Rida Sita Dewi yang berperan sebagai Karina; dan Dinda Kanya Dewi, aktris sinetron Cinta Fitri yang berperan sebagai Sarita. Lalu ada juga Kartika Jahja, penulis lagu dan vokalis band Tika and The Dissidents (berperan sebagai Billy), aktor senior Andi Bersama (sebagai Martin Subrata), Madin Tyasawan (sebagai Hary Tamboga), Hendra Yan (sebagai Hoemario), dan sang sutradara Wawan Sofwan (sebagai Danuro).
Kisah terjadi di Kota Kencana yang berada di bawah kepemimpinan Wali Kota Jokarna. Kota ini sedang tumbuh dan berkembang pesat berkat keberadaan industri pertambangan yang dikelola oleh PT Tambang Harapan Gemilang. Tak disebutkan secara pasti, sebenarnya jenis pertambangan apa yang ada di kota ini (emas, minyak bumi, batu bara, timah, atau apa?). Sang kreator sepertinya tak menganggap soal itu sebagai perkara yang penting.
Seluruh warga kota sedang dibuai mimpi-mimpi tentang kemakmuran dan modernisasi. Namun, semua itu berubah sejak Dokter Torangga yang merupakan adik kandung sang Wali Kota, menemukan fakta bahwa seluruh warga terancam bahaya karena sistem perairan kota tersebut tercemar limbah pabrik yang tidak dikelola secara benar.
Polemik itu memicu pertikaian sepasang saudara, yang kemudian disusul terbongkarnya banyak topeng yang selama ini dikenakan berbagai pihak, mulai dari politisi, jurnalis, pengusaha, bahkan: rakyat. Dokter Torangga dan anak istrinya yang idealis harus berhadapan melawan kebenaran kolektif yang dibentuk oleh penguasa dan dibantu tangan kotor media. Pertarungan purba antara kebenaran yang terasingkan melawan kejahatan serta kemunafikan. Sungguh sebuah gagasan besar yang seksi, renyah, dan berisi.
Namun, sayangnya, gagasan besar yang didukung nama-nama besar di panggung teater itu dalam eksekusinya ternyata harus rela menjadi sebuah pementasan yang tidak istimewa dan cenderung biasa-biasa saja. Akting para aktor dan aktris di atas panggung terbilang standar (untuk tidak mengatakan buruk). Tak terlihat ada usaha masing-masing pemeran untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang ada agar bisa menemukan sebuah karakter yang unik dan melekat di benak penonton. Dialog-dialog berseliweran secara kaku dan mentah, seakan-akan para aktor baru saja hafal naskah. Di antara sekian banyak aktor, hanya Andi Bersama yang cukup berani mengeksplorasi karakternya menjadi sosok yang unik. Andi cukup berani bermain-main dengan intonasi dialognya hingga terdengar asyik dan tidak membosankan. Meski tetap saja, tongkat yang ditentengnya mau tak mau harus dianggap sebagai hiasan belaka. Karena gerak tubuh yang dia tampilkan sepanjang penampilan sama sekali tak memperlihatkan bahwa dia adalah orang yang membutuhkan tongkat untuk beraktivitas.
Konsep desain panggung yang digarap oleh Iskandar K. Loedin pun terbilang cukup menarik. Sebagai metafora dari pengeboran dan eksplorasi tambang di Kota Kencana, Iskandar membuat panggung yang menampilkan dinding yang bisa berputar di sebuah poros untuk menciptakan ruang pementasan yang berbeda. Ide menarik, sebenarnya. Meski saya, sebagai penonton yang duduk di sisi sayap gedung pementasan Graha Bhakti Budaya gagal melihat ada sesuatu yang benar-benar berbeda ketika dinding tersebut diputar. Saya menduga, mungkin perbedaan itu hanya akan benar-benar terlihat jika saya duduk di kursi VIP yang berada tegak lurus dengan panggung, atau jika pementasan tersebut digelar di panggung prosenium. Begitu juga dengan musik yang digubah oleh Marcello Pelliteri, Profesor Berklee College of Music di Boston, Amerika Serikat, yang ternyata tidak begitu berpengaruh dalam membuat pementasan malam itu agar tampak lebih istimewa.
Jika memang harus ada yang disebut istimewa dari pementasan Subversif!, saya akan mengatakan bahwa itu adalah “naskahnya”. Ide tentang revolusi dan gagasan tentang penyadaran masyarakat melalui panggung teater adalah sesuatu yang tetap menarik sampai kapan pun.
Cuma masalahnya, pelaku seni teater juga tak selayaknya menghindari tanggung jawab untuk menghadirkan tontonan bermutu untuk penonton. Namun, mau bagaimana lagi? Publik kadang tak begitu banyak diberi pilihan. Faktanya, fenomena semacam inilah yang belakangan sedang mewabah di dunia teater Indonesia: asalkan tema yang diangkat terdengar seksi (dan syukur-syukur agak berbau kiri), serta beberapa aktor dan aktrisnya dari kalangan selebritas, pentas teater yang sesungguhnya menyedihkan dan belum matang sekali pun akan banyak diperbincangkan di media-media arus utama.
Padahal, sebagai sebuah tontonan, gagasan saja tidak pernah cukup. Tidak akan pernah cukup.
*Tulisan ini pertama kali terbit di jakartabeat.net