“Kenapa harus berserikat?”
Pertanyaan itu seringkali muncul usai kelahiran Solidaritas Pekerja VIVA.co.id (SPV). Jika yang menanyakannya kawan dari luar lingkungan kantor, tentu saja saya akan dengan senang hati menjelaskannya.
Namun, anehnya, pertanyaan itu kadang juga diluncurkan oleh beberapa kawan sekantor. Di mana seharusnya kami sama-sama tahu, permasalahan semacam apa yang kami hadapi, derita seperti apa yang sama-sama menimpa kami, dan ketidakadilan yang bagaimana yang seharusnya kami lawan bersama-sama.
Selama ini, frase Serikat Buruh atau Serikat Pekerja mungkin agak terdengar ngeri di telinga sebagian masyarakat kita. Ketika mendengar frase ini, mungkin yang ada di bayangan adalah buruh-buruh pabrik berkulit legam, berbaju merah hitam, dan gemar beramai-ramai meneriakkan tuntutan sambil menutup jalanan, dan sebagainya dan sebagainya.
Mereka tak cukup paham, bahwa sebenarnya yang disebut “buruh” bukan hanya pekerja di industri manufaktur. Bukan cuma mereka yang melakukan pekerjaan kasar di pabrik-pabrik. Siapa pun kita, setinggi apa pun jabatan kita di sebuah perusahaan, selama kita tak memiliki saham pribadi di perusahaan itu, dan masih menerima bayaran dari pemilik modal atas apa yang kita lakukan di situ, kita adalah buruh. Tak lebih.
Lalu, kenapa masyarakat kita bisa salah memahami soal ini? Karena, ini memang konstruksi yang dibuat oleh Orde Baru. Sejak awalnya, gerakan buruh memang lekat dengan gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Pasca tragedi 1965 dan mulai berkuasanya Orde Baru, kata “buruh” selalu diidentikkan dengan gerakan kiri dan hanya digunakan untuk menyebut para pekerja kasar di pabrik-pabrik.
Sementara untuk pekerja kerah putih di kantoran, dipakailah kosakata lain yang terdengar lebih jinak, seperti “karyawan”, “pegawai”, atau “staf”. Pemahaman (yang sebenarnya keliru ini) terus dikembangbiakkan oleh rezim. Untuk apa? Tentu saja, untuk memecah belah kekuatan rakyat.
Di era Orde Baru, semua gerakan progresif dikandangkan. Organisasi perempuan progresif Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) takhenti dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dituduh terlibat G30S dan difitnah ikut menyiksa para Jenderal dengan pisau silet, lalu menari telanjang di sekitar jasad mereka sambil menyanyikan Genjer Genjer.
Sebagai gantinya, pemerintah membesarkan organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bagi masyarakat umum, dan Dharma Wanita bagi istri PNS. Gerakan perempuan-feminis-progresif Gerwani yang sering menyuarakan soal persamaan hak dan menentang keras praktik poligami, diganti dengan organisasi yang mendomestifikasi peran perempuan. Perempuan tak lagi boleh bersuara lantang. Perempuan hanya boleh mendampingi suami, di mana tugasnya cuma di dapur, sumur, dan kasur.
Pemberangusan semacam itu tak hanya dilakukan ke kelompok perempuan, tapi juga di semua gerakan, termasuk gerakan buruh. Di era Orde Baru, gerakan buruh diberangus, dan semua buruh disatukan dalam satu kandang, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang sebenarnya lebih sering memihak ke kepentingan pemilik modal. Sementara agar para pekerja kerah putih tak turut bergabung, mereka disebut dengan kosakata-kosakata baru yang terdengar lebih jinak (seperti yang disebut di atas tadi).
Atas dasar itu, tak heran jika di hari ini, banyak pekerja kerah putih di sekitar kita (termasuk para pekerja media) yang enggan disebut sebagai buruh. Mereka lebih nyaman disebut sebagai staf, karyawan, atau pegawai. Namun, masalahnya, perjuangan kelas bukanlah soal rasa nyaman atau tak nyaman.
Kau boleh melabeli dirimu sebagai apa pun yang kau suka, tapi itu tak memengaruhi posisimu yang sebenarnya. Kau boleh menyebut dirimu sebagai staf, karyawan, pegawai, atau istilah apa pun yang kau mau, tapi itu tak akan membuatmu menjadi seorang pemilik modal yang bisa dengan semena-mena menentukan regulasi di perusahaan tempatmu bekerja.
Beberapa tahun belakangan, ada begitu banyak berita soal demo buruh yang bernada negatif di media daring Indonesia. Alih-alih memberitakan tentang betapa kecilnya upah minimal yang diterima para pekerja (yang sebenarnya juga berpengaruh terhadap besaran gaji mereka), para jurnalis itu justru membuat berita-berita yang seakan mengolok-olok suara para buruh.
Mereka membuat berita tentang sampah yang berserakan atau kerusakan yang ditimbulkan akibat aksi demo buruh. Mereka juga beramai-ramai menertawakan soal “parfum” yang ada di daftar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), seakan-akan seorang buruh hanya boleh berkeringat dan tak boleh tampil wangi.
Mereka bahkan menyoroti sejumlah buruh yang menuntut kenaikan upah sambil mengendarai sepeda motor Kawasaki Ninja, seakan seorang buruh yang menuntut kenaikan upah seharusnya adalah mereka yang ke sana kemari berjalan kaki atau naik Metro Mini.
Mereka membuat semua tulisan olok-olok (yang disebut sebagai berita) itu, seakan mereka bukanlah buruh, seakan mereka bukan bagian dari kelas pekerja. Padahal, jika tuntutan para buruh di jalanan itu dipenuhi oleh pemerintah, mereka juga akan merasakan manfaatnya. Jika Upah Minimum Regional (UMR) naik, gaji mereka juga kemungkinan besar akan ikut naik.
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan sejumlah jurnalis sebuah media yang nyaris bangkrut. Perusahaan itu secara semena-mena memangkas jumlah karyawannya. Sebagian jurnalis yang merasa posisinya terancam, mengajak saya bertemu. Mereka ingin berkonsultasi soal bagaimana cara mendirikan serikat pekerja. Saat bertemu, saya melontarkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah lama saya simpan, “Kenapa jiwa korsa kalian ke perusahaan begitu besar?”
Beberapa kawan saya yang bekerja di media itu memang seringkali memperlihatkan kebanggaan (yang menurut saya terlalu) berlebihan terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Mereka tampak seperti sekelompok jurnalis yang merasa paling elite dan berkualitas, dengan seragam biru, celana krem, dan sepatu bootsnya. Di media sosial, mereka seringkali memuja-muji perusahaan dan bos besarnya, layaknya seorang nabi yang diturunkan dari langit.
Beberapa jurnalis yang saya temui itu menjawab, bahwa memang hal itulah yang diajarkan oleh perusahaan sejak awal mereka bergabung. Mereka diajarkan, bahwa tempat mereka bekerja adalah sebuah rumah bersama. Dan, seperti layaknya sebuah rumah, perusahaan itu harus dijaga bersama-sama oleh para penghuni. Karena itu, masalah apa pun yang ada di dalam rumah itu, tak boleh bocor ke tetangga. Karena, jika membocorkan urusan rumah tangga ke tetangga sekitar, itu sama artinya dengan membakar rumah sendiri. Di titik itulah, saya hanya bisa garuk-garuk kepala.
Satu hal yang perlu diingat, hubungan antara pekerja dan pemilik modal itu adalah hubungan industrial, bukan hubungan kasih sayang seperti orang pacaran, di mana ketika satu pihak menginginkan sesuatu, pihak yang lain akan langsung mengabulkannya. Dalam sebuah hubungan industrial, apa yang seharusnya pekerja lakukan, di tanggal berapa mereka menerima bayaran, berapa kali dalam setahun mereka boleh mengambil liburan, semua itu harus sesuai aturan.
Begitu juga sebaliknya. Bagaimana cara pemilik modal menegur pekerja, bagaimana mereka memberi sanksi, berapa gaji yang mereka bayarkan, semua itu tak boleh dilakukan sesuka hati. Ada aturan, dan ada undang-undang.
Jadi, menganggap perusahaan sebagai rumah yang harus dijaga bersama apa pun kondisi di dalam rumah, itu bukan hanya keliru. Tapi, juga dungu. Jika memang harus memiliki jiwa korsa, itu seharusnya adalah dengan sesama kelas pekerja, bukan dengan perusahaan.
Contoh nyatanya, adalah media yang nyaris bangkrut tadi. Loyalitas yang diberikan para pegawainya ternyata tak membuat mereka terselamatkan. Banyak di antara mereka dengan semena-mena dirumahkan, dengan pesangon yang tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya mereka terima.
Lalu, apakah kita tak boleh mencintai perusahaan kita? Tentu saja, boleh. Namun, sekali lagi, satu hal yang perlu diingat, hubungan antara kita sebagai pekerja dengan pemilik modal, adalah hubungan industrial. Seharusnya pekerja dan pemilik modal adalah mitra kerja. Bukan semata atasan dan bawahan. Kita melakukan tugas kita dengan menyumbangkan ide, gagasan, atau tenaga. Untuk itu, kita berhak mendapatkan upah atas jerih payah kita. Sementara pemilik modal yang sudah mendapatkan haknya, yaitu ide, gagasan, dan tenaga dari kita, punya kewajiban membayarkan upah dan hak-hak kita yang lainnya.
Demi memperjuangkan pemenuhan hak-hak itulah, keberadaan serikat pekerja adalah sesuatu yang penting. Mendirikan dan bergabung di serikat pekerja bukanlah sesuatu yang salah. Kebebasan berserikat, berorganisasi, dan mengeluarkan pendapat diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Pendirian serikat pekerja juga diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000.
Jadi, satu hal yang perlu digarisbawahi, serikat pekerja bukanlah semata gerakan perlawanan, melainkan gerakan yang mencoba untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak pekerja. Dengan keberadaan serikat pekerja, kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan pemilik modal. Kita bisa punya daya tawar dan kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak kita sebagai bagian dari kelas pekerja.
Sampai di titik ini, seharusnya kita menjadi paham, bahwa pertanyaan yang tepat bukanlah, “Kenapa harus berserikat?” melainkan, “Kenapa tidak berserikat?”
*Ditulis sebagai pengantar diskusi Kelas Pekerja VIVA #1 di Kedai Tjikini pada Sabtu 30 November 2019.