Kapitalisme Hu Akbar

Di tengah peradaban yang menjunjung tinggi sistem kapitalisme, segala hal tak lebih dari komoditas yang hanya dilihat dari satu sudut pandang, yaitu uang. Tak lebih.

Jumat siang, 17 Agustus 2018. Bupati Karanganyar, Juliyatmono, meluncur ke Cemoro Kandang, Tawangmangu, untuk melakukan peletakkan batu pertama proyek pembangunan anak tangga menuju puncak Gunung Lawu.

“Ini satu-satunya di dunia, anak tangga sampai puncak gunung,” sesumbar Juliyatmono di hadapan tamu undangan.

Selain untuk memudahkan pendaki pemula, pembangunan anak tangga ini diharapkan bisa membuat Gunung Lawu semakin memesona, sehingga dapat menyedot wisatawan, baik dari dalam dan luar negeri.

“Nanti, gapura di Cemoro Kandang ini akan dipapras. Beberapa pohon juga akan ditebang,” kata Juliyatmono.

Terlepas dari ketiadaan izin resmi dan penolakan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Perum Perhutani Solo, wacana ini memang sudah cacat logika dari awalnya. Mengeksploitasi alam dengan mengabaikan ekosistem, semata untuk kepentingan pariwisata, jelas bukan sesuatu yang bisa dibenarkan.

Hal semacam ini bukan sekali ini saja terjadi. Masih segar di ingatan, sekitar Oktober tahun lalu, publik digegerkan dengan dua tugu berukuran raksasa yang dibangun oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo. Selain sebagai penanda, dua tugu itu juga diharapkan bisa menjadi lokasi swafoto para wisatawan.

Sebenarnya apa yang salah dari cara berpikir kita? Kenapa segala sesuatu harus selalu dilihat menggunakan logika pasar semacam ini? Apakah segala hal yang bisa dijual harus selalu dijual? Kenapa di negara ini, alam, kebudayaan, dan kesenian, melulu dijadikan komoditas untuk meraup sebanyak mungkin keuntungan? Apakah kita bersalah jika membiarkan alam sebagai alam, kebudayaan sebagai kebudayaan, kesenian sebagai kesenian, ini sebagai ini, dan itu sebagai itu?

“Orang ke puncak Lawu tidak akan tersesat karena ada anak tangga dan pegangan. Ke depan, juga akan ada lampu hingga naik ke puncak Lawu,” Juliyatmono menambahkan.

Di titik ini, tiba-tiba saya teringat dengan Bhutan. Pemerintah Bhutan pernah mengalirkan listrik ke pondok-pondok kecil yang bertengger di tebing-tebing jurang di pegunungan. Konon, biaya yang dihabiskan untuk proyek ini mencapai kurang lebih 100.000 dolar AS. Apakah pemerintah Bhutan melakukan hal ini demi menunjang peningkatan sektor pariwisata di sana? Sama sekali tidak.

Kaum lelaki Bhutan memiliki sebuah tradisi tersendiri. Banyak di antara mereka yang sesekali menarik diri dari keramaian, untuk melakukan meditasi ke puncak-puncak gunung. Selama tiga tahun, mereka tak melakukan apa-apa, selain bermeditasi. Mereka benar-benar menutup diri dengan lingkungan luar, dan bahkan tak berbicara satu sama lain. Demi memfasilitasi kebutuhan itulah, pemerintah Bhutan rela mengeluarkan uang mereka.

Mungkin, Bhutan memang sebuah anomali dalam sistem perpolitikan di muka bumi ini. Sementara negara-negara lain menggunakan Gross National Product (GNP) sebagai tolok ukur kemajuan mereka, Bhutan justru menerapkan standar yang sama sekali lain, yaitu Gross National Happiness (GNH).

Singkatnya, GNH berusaha mengukur kemajuan bangsa bukan melalui neraca dagangnya, melainkan melalui kebahagiaan (dan ketidakbahagiaan) rakyatnya. Hal itulah yang mendasari pemerintah Bhutan bersedia mengalirkan listrik ke pondok-pondok kecil tadi.

Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat yang terbiasa melakukan sesuatu atas dasar hukum jual beli, apa yang dilakukan rakyat Bhutan (dan pemerintahannya) mungkin tampak tak masuk akal secara ekonomi. Meski miskin, rakyat Bhutan tidak menyembah dewa efisiensi dan produktivitas (sesuatu yang nyaris selalu kita elu-elukan setiap hari).

Bahkan, mereka mengabaikan potensi pemasukan negara dari sektor pariwisata. Tak seperti Nepal yang membuka pintu lebar-lebar bagi para wisatawan (hingga menjadikannya surga kaum hippies sedunia), Bhutan justru membatasi jumlah turis yang masuk ke negaranya. Mereka menetapkan ongkos yang wajib dibayarkan para wisatawan bagi pemandu wisata mereka, senilai ratusan dolar AS setiap harinya.

Jika dilihat dari permukaan, mungkin apa yang diwacanakan Juliyatmono dan pemerintah Bhutan tampak serupa, sama-sama membangun akses dan mengalirkan listrik ke puncak gunung. Tapi, jika diselami lebih dalam alasannya, keduanya sama sekali berbeda, dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Satu hal dilandasi keinginan untuk mengejar keuntungan, sementara satu hal lagi semata demi “kebahagiaan”.

Bagaimanapun juga, Bhutan adalah Bhutan, dan Karanganyar adalah Karanganyar, sebuah kabupaten kecil bagian dari Indonesia, yang sejak lama memang menghamba pada berhala raksasa bernama Kapitalisme yang Maha Kuasa. Jika ada yang bertanya, “Siapa kita?” jawablah, “Indonesia.” Jika mereka kembali bertanya, “Siapa kiblat kita?” jawablah “Amerika.”

 

Referensi:
Di Gunung Lawu, Bakal Ada Anak Tangga sampai Puncak
Pertama di Dunia, Gunung Lawu Bakal Miliki Anak Tangga Menuju ke Puncak
Pro Kontra Tugu Gunung Bromo

 

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *