Tiga Hari untuk Selamanya

Jumat, 22 Oktober 2010. Gerimis tak henti berisik senja itu. Saya dan dua orang kawan baru saja memarkir sepeda motor dan bermaksud menuju kantor Vihara Mendut, ketika seseorang berpakaian serba putih tiba-tiba muncul dari kegelapan dan menyapa kami, “Baru datang, ya?”
“Iya, Pak. Tadi kami terjebak hujan di jalan,” kami bersalaman.
“Ya, sudah. Nanti langsung menyusul ke aula, ya.”
Beliau meninggalkan kami dengan sepotong senyum dan langkah pelan.

Kelak, sekitar 15 menit kemudian (ketika saya bersimpuh bersama puluhan orang lainnya di dalam aula), saya baru tahu bahwa beliau adalah Romo Hudoyo Hupudio. Praktisi meditasi vipassana yang akan membimbing kami selama tiga hari ke depan.

“Pikiran adalah sampah,” suara Pak Hudoyo pelan, yang saya rasakan sebagai tamparan. Sepanjang hidup, saya adalah salah satu orang yang begitu memuja pikiran. Betapa segala sesuatu harus selalu bisa dilogika. Betapa pikiran adalah gerbang menuju kekuatan dan kemajuan. Dan, sejak itu, saya harus menerima dengan lapang dada, bahwa apa yang selalu saya puja ternyata tak lebih dari sampah yang sebaiknya dicampakkan karena itulah satu-satunya sumber penderitaan.

Selama tiga hari, kami melakukan segala sesuatunya dalam diam dan pelan. Tak ada suara dan komunikasi kecuali di waktu diskusi. Kami diminta untuk menyadari pikiran kami sendiri-sendiri. Dari waktu ke waktu, kami tak henti mengamati gerak pikiran yang seringkali meloncat-loncat tanpa kendali: ingatan, kenangan, kerinduan, kesedihan, kegembiraan, rasa sakit. Terus menyadari. Hanya menyadari. Mengamati. Terus mengamati. Tanpa menolak atau mengikuti. “Gunakan pikiran untuk hal-hal yang benar-benar penting. Bekerja untuk bertahan hidup, misalnya. Jangan selalu mengikuti gerak pikiran.”

Saya tak banyak berbincang dengan Pak Hudoyo ketika itu. Saya bertemu lagi dengan beliau ketika saya ikut retret meditasi di Vihara Watugong, Semarang, pada Agustus 2013. Saat itu, saya berbincang agak panjang dengan beliau. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya secara personal dengan sabar. Kami tak pernah bertemu lagi sejak saat itu. Kami hanya sesekali terlibat perbincangan singkat melalui akun media sosial, sebelum akhirnya beliau pamit dari aktivitas di media sosial karena ingin fokus pada proses penyembuhan penyakit beliau. Hingga pada Jumat 9 Juni 2017 lalu, berita itu saya dengar: Beliau meninggal dunia.

Pak Hudoyo lahir di Pasuruan, 18 September 1943. Beliau ditahbiskan YM Ashin Jinnarakhita menjadi Samanera Rahula Vidyasurya pada tahun 1969. Tahun 1971-1973, Pak Hudoyo menjadi Bhikkhu Suddhiyano bersama Upajjaya Somdet Phra Nyanasamvara di Thailand. Beliau adalah salah satu perintis berdirinya Mapanbudhi (sekarang Magabudhi). Selepas itu, Pak Hudoyo melanjutkan kuliah dan lulus dari jurusan kedokteran di Universitas Pajajaran dan meraih gelar Master Epidemiologi di Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland, AS.

Pak Hudoyo adalah seorang guru meditasi yang mengajar secara rutin di berbagai kota di Indonesia. Meski berlatar belakang meditasi Buddhism, meditasi vipassana sesungguhnya adalah ajaran universal. Bahkan, tak hanya masyarakat biasa dari berbagai agama yang belajar meditasi kepada beliau, tapi juga kiai, pastor, dan suster. Namun, di kalangan Buddhis sendiri, ada sejumlah kecil pihak yang menganggap beliau bukan Buddhis karena mengajarkan meditasi berdasar pada ajaran Jiddu Khrisnamurti dan Bahiya Sutta. Tentu saja ini hal yang wajar. Di agama apapun, ajaran tentang membunuh ego dan menolak dogma pasti ditentang kaum konservatif yang dikuasai ego. Siti Jenar dihukum mati. Anthony de Mello dikecam Vatikan.

Terlepas dari itu semua, harus saya akui, tiga hari yang saya lalui di Vihara Mendut mungkin adalah tiga hari paling bermakna sepanjang hidup saya. Ada sesuatu yang berbeda dengan cara saya memandang dunia setelah hari-hari itu. Saya masih suka berpikir, tentu saja. Saya juga masih gemar membaca buku filsafat dan sesekali berdebat. Tapi, saya sudah tak menderita dengan pikiran-pikiran saya. Minimal, sudah tidak terlalu menderita. Semisal menderita, saya tahu bagaimana menyikapinya.

Kesedihan atau kebahagiaan, pada hakikatnya adalah sama: Kotoran batin yang akan membuat kita terlena. Hidup adalah dukkha. Masalahnya bukan “Tuhan itu ada” atau “Tuhan itu tak ada”, karena keduanya tak lebih dari konsep, tak lebih dari gerak pikiran. Ketika pikiran berhenti, ada atau tidak adanya Tuhan sudah tak relevan lagi untuk dipertanyakan.

Sabbe saṅkhārā aniccā,
Sabbe saṅkhārā dukkhā,
Sabbe dhammā anattā.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *