Kau Kapan Nikah?
“Kenapa masyarakat Indonesia begitu terobsesi dengan pernikahan?”
 
Sebenarnya pertanyaan ini sudah agak lama melekat di kepala saya. Dan, sampai sekarang belum terjawab juga. Di momen lebaran seperti sekarang ini, pertanyaan itu kembali muncul seiring banyaknya mereka yang mengeluh di media sosial dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” dari orang-orang di dekatnya.
 
Agak ironis sebenarnya. Momen hari kemenangan yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi dan dirayakan dengan riang gembira, justru (secara tak sadar) menjadi teror bagi kaum jomblo yang pulang ke kampung halaman dan (terpaksa) bertemu handai taulan tanpa pasangan.
 
Tentu saja, bagi kaum lajang, yang memilih hidup sendiri karena alasan ideologis, pertanyaan semacam, “Kapan nikah?” atau, “Mana calonnya?” adalah hal remeh yang tak perlu dianggap terlalu serius.
 
Tapi, bagi kaum jomblo, yang terpaksa menjalani hari-hari sendiri karena nasib buruk (baca: belum ada yang cocok dan mau), pertanyaan-pertanyaan semacam itu jelas sebuah bentuk perisakan yang serius.
 
Bayangkan saja, sudah berusaha keras untuk mendapatkan pasangan, mengenal banyak orang, menebar pesona di sana-sini, berdoa minta jodoh ke Tuhan siang dan malam, masih juga dirisak sanak saudara dan teman-teman. Itu sama sekali tak lucu.
 
Selama ini, kaum tua tak henti menerapkan standar bahwa “hidup yang penuh” adalah hidup yang dijalani di sebuah biduk bernama rumah tangga. Masyarakat yang tumbuh besar di tengah budaya konsumerisme memandang segala hal dari sudut pandang kapitalisme, di mana segala hal (termasuk manusia) tak ubahnya komoditas (yang diukur dari perkara laku dan tak laku). Para ustaz membawa-bawa dalil agama untuk mepropagandakan betapa asyik dan mudahnya menikah di usia muda. Sinetron di layar TV tak henti menayangkan kisah cinta yang meski penuh konflik tapi selalu berakhir bahagia. Dan, kaum muda yang sudah matang secara seksual, terbatasi dogma agama yang mengatakan bahwa seks pranikah itu adalah zina yang berbuah neraka. Komposisi yang aduhai, bukan?
 
Baiklah, mungkin memang benar yang sering digaungkan BKKBN, bahwa memang ada usia ideal untuk melakukan pernikahan: Andaikan menikah di usia segini, nanti kemungkinan anak pertamamu lahir di usia segini, lalu anak kedua di umur segini, terus waktu mereka masuk sekolah usiamu masih segini, dan semacamnya dan semacamnya.
 
Cuma, masalahnya, pernikahan itu kan bukan cuma perkara beranakpinak. Secara seksual, kau mungkin sudah siap dibuahi atau membuahi, tapi pernikahan kan tak cuma soal pembuahan? Ada sesuatu yang lebih besar dan penting dari sekadar urusan bereproduksi. Ketika memutuskan menikah, kau harus bisa menyatukan dua pikiran dan latar belakang, kau harus bisa mendidik calon manusia baru pewaris masa depan kehidupan, dan sebagainya dan sebagainya.
 
Jadi, mulai sekarang, ada baiknya mulai mengubah pola pikir. Kau yang belum menikah, santai saja, tak perlu terburu-buru. Bisa ngaceng secara baik dan benar bukan berarti kau siap menikah. Ingat, pernikahan yang baik itu adalah pernikahan yang bisa membuat hidupmu menjadi semakin baik, yang sanggup membuatmu menjadi sosok yang lebih keren, bukan sesuatu yang membuat hidupmu menjadi semakin rumit dan menderita.
 
Sementara kau yang sudah menikah, ayolah, hidup tak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan. Tak ada pentingnya merisak yang belum menikah dengan pertanyaan tak mutu. Masing-masing orang punya proses sendiri-sendiri. Kalau mereka nekat menikah dengan sembarang orang karena tak kuat dengan pertanyaan-pertanyaanmu, terus hidupnya ternyata tak bahagia, lalu kemudian di suatu waktu terpaksa bercerai, kau mau tanggung jawab? Kau mau merawat dan menghidupi anak-anaknya?
 
Pertanyaanmu yang tak mutu itu adalah sebuah bentuk dekadensi. Ribuan tahun lalu, umat manusia mempertanyakan hal-hal besar semacam, “Siapa aku?” atau, “Dari mana keberadaanku?”. Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang akhirnya melahirkan peradaban dan kebenaran yang hari ini kau imani. Masa, di tahun 2017 ini, kau cuma bisa melontarkan pertanyaan, “Kapan nikah?”. Duh, remeh nian.
 
Cobalah berhenti menjadi wagu, dan mulailah menanyakan sesuatu yang lebih bermutu ketika bertemu dengan seseorang yang sudah lama tak kau jumpai di hari lebaran, “Hei, sudah baca berapa buku bulan ini?” atau mungkin “Gimana, hidupmu bahagia?”.
 
Rawamangun, 2 Syawal 1438 H

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *