
Selalu ada yang pertama untuk setiap hal. Termasuk tertidur di tengah-tengah film saat di dalam bioskop. Pengalaman itulah yang saya alami ketika menonton Banda The Dark Forgotten Trail karya sutradara Jay Subiakto. Saya tak menghitung berapa lama saya sempat tertidur. Toh, buat apa? Tak akan mengubah apa-apa juga. Apakah filmnya buruk? Ya. Melelahkan dan klise, lebih tepatnya.
Melelahkan, karena sepanjang film penonton disuguhi gambar-gambar indah yang disunting dengan teknik fast cut dan jump cut yang dramatis ala videoklip musik, sementara di saat bersamaan, penonton tak henti dijejali dengan narasi panjang tentang sejarah Banda layaknya ensiklopedia, dan sesekali diselingi nukilan wawancara dengan sejumlah narasumber yang begitu-begitu saja dan hampir tak menawarkan kebaruan apa-apa.
Melihat film ini, membuat saya bisa membayangkan proses produksinya: Tim riset dikerahkan untuk membaca buku-buku referensi tentang sejarah Banda, sementara para kameramen dilepasliarkan untuk mengambil gambar-gambar indah di setiap sudut Banda (dengan drone, teknik hyperlapse, timelapse, dan sebagainya), sementara sejumlah sejarawan – pemerhati budaya – petani pala – generasi muda Banda yang terpilih dipersiapkan untuk diwawancara sebagai narasumber.
Selain itu, tim grafis ditugasi untuk membuat videografis yang bisa digunakan untuk memperkuat informasi yang ingin disampaikan, sementara sang sutradara mengatur pengambilan gambar sejumlah adegan (yang seakan-akan) rekonstruksi, di mana beberapa bocah yang hanya mengenakan celana berlari-lari di sudut benteng, memetik pala, mengupasnya, dan sebagainya dan sebagainya.
Ketika semua bahan itu sudah terkumpul, kemudian diserahkan ke tim editing yang biasa menyunting videoklip (atau jangan-jangan malah video prewedding?), dan jadilah: Gado-gado rasa Banda yang amburadul, sebuah videoklip panjang yang diklaim sebagai film dokumenter.
Film ini diawali dengan sejarah Banda yang dikenal sebagai kepulauan penghasil pala. Pada zaman dahulu, bangsa-bangsa di Eropa saling memperebutkan kekuasaan di kepulauan itu, mengingat pala ketika itu adalah komoditas primadona yang bernilai tinggi di pasar internasional.
Kisah kemudian bergulir. Pala tak lagi menjadi primadona. Lalu perjalanan Banda tiba di tahun 1999, di mana konflik antaragama yang pecah di Ambon merembet ke Banda. Seperti narasumber lain yang ditampilkan di film ini, salah seorang penyintas tragedi tersebut didudukkan di sebuah tempat untuk kemudian menceritakan kisah pedihnya. Insert gambar yang digunakan? Lagi-lagi hanya gambar Banda dari ketinggian, benteng, laut, dan semacamnya. Tak tampak ada usaha sang kreator untuk menyisipkan gambar yang bisa digunakan untuk memperkuat cerita.
Setelah penonton terus-terusan disuguhi gambar-gambar keindahan Kepulauan Banda, film ditutup dengan pembacaan puisi Cerita Buat Dien Tamaela karya Chairil Anwar (yang menurut saya adalah satu-satunya bagian terbaik di film ini) dan adegan klise yang memperlihatkan sejumlah bocah menaiki sampan di lautan dan kemudian menyusup di bawah batu-batu karang sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seakan adegan yang layaknya iklan rokok edisi tujuhbelasan itu masih kurang klise, akhir film ini juga dibumbui dengan “harapan generasi muda Banda ke depannya”.
Sepanjang film yang berdurasi sekitar 1,5 jam, saya hanya melihat usaha sang kreator untuk mati-matian menampilkan gambar indah saja, tapi nirguna. Hampir semua shot diambil dengan sudut pandang seorang sutradara videoklip musik. Tapi, masalahnya, dalam sebuah film dokumenter, gambar indah saja tidak cukup. Tidak akan pernah cukup.
Di tengah film, saya sempat menutup mata dan hanya mendengarkan narasi dan kalimat-kalimat yang dilontarkan narasumber. Dan, ternyata saya tak merasa kehilangan apa-apa. Toh gambar yang ditampilkan juga hanya itu-itu saja: laut lepas, benteng, anak-anak kecil berlarian, pepohonan, ombak, langit, dan semacamnya. Sama sekali bukan gambar yang bisa memperkuat cerita dan sayang untuk dilewatkan.
Gambar indah di sebuah film dokumenter, tentu bukan masalah. Samsara dan Baraka contohnya. Hanya saja, kedua film itu memang punya konsep yang jelas. Keduanya memang diproduksi sebagai sebuah film bisu tanpa narasi. Tanpa kata-kata, gambar dan musik yang ditampilkan memang sudah mampu berbicara tentang apa yang ingin dikatakan: tentang konsep tumimbal lahir di alam semesta, tentang kesia-siaan yang terus saja diperjuangkan manusia.
Sementara Banda? Gambar indah Kepulauan Banda yang disunting mengikuti ritme musik bernuansa horor, ditingkahi dengan narasi detail layaknya laman Wikipedia, plus adegan-adegan (sok) rekonstruksi semacam liputan BBC atau National Geographic? Penonton yang paling bugar sekalipun kemungkinan besar akan kelelahan menontonnya. Bagaimana tidak, ketika mata harus terus-terusan mencerna visual yang memikat, sementara kuping tak henti mengunyah arus informasi yang tak berhenti.
Di film ini, Jay tampak malas mengulik lebih dalam sebuah informasi yang baru (layaknya yang biasa dilakukan dalam sebuah produksi film documenter). Semua seakan hanya mengikuti naskah dan alur yang memang sudah dibuat sebelumnya. Ketika seorang narasumber mengeluhkan berkurangnya ruang terbuka hijau karena banyak dibangunnya gedung-gedung pemerintahan, sekali lagi, insert gambar yang digunakan hanya gambar Banda dari ketinggian, gambar pepohonan, benteng, dan terus itu-itu saja. Tak ada usaha untuk memperlihatkan gedung pemerintahan mana yang sebenarnya dimaksud.
Menonton film ini mengingatkan saya pada sebuah diskusi dengan seorang kawan lama tentang apa sebenarnya yang layak disebut sebagai film dokumenter. Ketika itu kami berkesimpulan bahwa dalam sebuah film dokumenter, Tuhanlah yang menjadi sutradara (di mana sang sinematografer hanya bertugas merekam apa yang memang benar-benar terjadi), dan bukan sutradaranya yang menjadi Tuhan (dengan mengarahkan adegan-adegannya).
Tentu saja teori itu layak diperdebatkan. Toh, saya dan kawan saya ketika itu cuma mahasiswa culun yang sok-sokan punya mimpi menjadi seorang filmmaker. Tapi, apapun itu, film Banda ini menurut saya pribadi agak susah untuk disebut sebagai film dokumenter. Atau, kalau memang harus disebut sebagai film dokumenter, ini adalah sebuah film dokumenter jenis baru (sebuah jenis yang buruk, atau gagal, atau bahasa sopannya, kurang bagus).
Masing-masing orang punya bidangnya sendiri-sendiri. Jay Subiakto cukup mumpuni ketika menjadi seorang sutradara videoklip, atau saat menyutradarai Opera Kali, atau waktu menjadi penata artistik Matah Ati. Tapi, menyutradarai film dokumenter? Tidak. Sama sekali tidak.
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Jakartabeat.net