“Asal kau tahu, kelak, berpuluh tahun dari hari ini, kau hanya akan menjadi seorang tua bangka kesepian yang menghabiskan sisa harimu dengan duduk di kafe pengap yang temboknya mengelupas dimakan lembap. Tak akan ada seorang pun yang sudi duduk di sampingmu ketika itu, karena masing-masing dari mereka sungguh tahu, bahwa begitu perutmu terisi segelas bir, kau akan mulai mengajak siapapun yang ada di dekatmu untuk berbincang secara ngawur, kau akan meracau tentang masa lalumu yang menggetarkan, di mana seorang kekasih yang sesungguhnya sangat kau cintai setengah mati pergi pada suatu pagi karena semesta tak merestui hubungan kalian. Ya, kau akan semena-mena menyalahkan semesta. Sementara sebenarnya di hari ini kita sama-sama tahu, bahwa sesungguhnya kegagalanmu itu adalah buah dari sifat pecundangmu yang tak pernah punya nyali untuk memperjuangkan sesuatu, termasuk dia yang konon kau cintai setengah mati itu.”
Speaker melantunkan Two Way Monologue sementara seorang pelayan mengantarkan segelas minuman berwarna magenta untuk seorang gadis berkacamata yang berwajah asyik dan tampak enak dan menggairahkan di meja seberang.
“Tapi aku akan tetap menulis cerita ketika itu.”
“Memang. Cerita-cerita yang sama buruknya dengan kisah teladan para nabi yang penuh kebohongan.”