Thoriqoh Musa dan Absurditas Kita

Maret 2019. Sebanyak 52 warga Desa Watubonang, Kabupaten Ponorogo, diam-diam hijrah ke Desa Kasembon, Kabupaten Malang. Sebelum berangkat, mereka menjual semua aset yang dimiliki. Jemaah Thoriqoh Musa ini percaya, kiamat akan segera datang. Dan, satu-satunya tempat yang bisa menyelamatkan mereka adalah Pondok Pesantren Miftahul Falahin Mubtadiin yang terletak di Desa Kasembon.

Kejadian ini mengingatkan saya pada sesuatu yang terjadi pada Mei 2015. Ketika itu, Lia Eden mengirimkan berlembar-lembar surat untuk Presiden Joko Widodo. Intinya, Lia dan jemaah Salamullah ingin meminjam lapangan Monas sebagai tempat pendaratan UFO. Konon, malaikat Jibril akan singgah di bumi dengan pesawat itu, untuk menjemput Lia dan membawanya ke luar angkasa.

Satu hal yang melemparkan ingatan saya terhadap fenomena itu, adalah tanggapan dari publik yang persis sama. Publik ramai-ramai mencibir dan menertawakan, seakan apa yang dilakukan jemaah-jemaah itu tak lebih dari sebentuk kedunguan yang paripurna. Sebuah absurditas yang melukai akal sehat.

Namun, masalahnya adalah, kebanyakan dari mereka yang menertawakan dan menganggap dua fenomena itu sebagai sesuatu yang absurd, sesungguhnya adalah orang-orang yang juga mengimani hal-hal yang tak kalah absurd.

Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa manusia itu pada mulanya tak lebih dari segumpal lempung yang dikasih nyawa. Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa pada suatu masa, ada seorang lelaki yang bisa membelah samudra dengan tongkatnya.

Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa pernah ada seorang perawan yang tiba-tiba melahirkan bayi tanpa sebelumnya dibuahi lelaki. Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa ketika bayi tadi tumbuh dewasa dan kemudian mati, bisa bangkit lagi setelah tiga hari. Dan sebagainya dan sebagainya.

Lalu, bagaimana bisa, satu jenis ketidakmasukakalan bisa tampak lebih masuk akal, ketimbang beberapa jenis ketidakmasukakalan yang lain? Jawabannya cuma satu, yaitu iman.

Sesuatu menjadi tampak masuk akal di mata kita, bukan karena dia memang benar-benar masuk akal, tapi karena kita mengimaninya sebagai kebenaran. Setidakmasukakal apapun itu, selama kita yakin bahwa hal itu adalah sesuatu yang benar, kita akan melihatnya sebagai sesuatu yang masuk akal.

Suka tak suka, terkadang kebenaran itu tak bicara tentang sesuatu yang benar-benar benar. Terkadang kebenaran itu adalah perkara apa yang kita yakini sebagai yang benar.

Isi kitab suci A adalah benar, karena isi kitab suci A mengatakan bahwa isi kitab suci A adalah benar. Dari dulu, cara kerja iman memang seperti itu, dan akan selalu seperti itu.

Lalu, kenapa orang-orang beriman cenderung begitu mudah memercayai hal-hal yang sesungguhnya di luar nalar? Hal itu lantaran sesungguhnya, iman adalah semacam tanggapan manusia yang merasa disapa oleh Yang Maha.

Bagi seseorang yang beriman, Yang Maha bukanlah hipotesis ilmiah yang perlu dibuktikan kebenaran atau ketidakbenarannya. Mereka sama sekali tidak membutuhkan pembuktian, apakah benar manusia itu pada awalnya terbuat dari tanah liat, atau apakah kisah tentang seorang lelaki yang membelah lautan itu sungguh pernah terjadi.

Kerinduan manusia terhadap Yang Maha semacam ini, lahir dari kebutuhan manusia akan makna, sesuatu yang tak bisa terberikan oleh akal. Akal mungkin bisa membantu manusia menentukan bagaimana sebuah tujuan bisa dicapai, tetapi terkadang akal tidak menyuguhkan sebuah makna.

Karena itu, sebelum kita menertawakan hal-hal yang kita rasa tak masuk akal, ada baiknya kita mencoba berdiri di depan cermin, untuk kemudian membisikkan sebuah pertanyaan untuk diri kita sendiri, “Apakah aku memang cukup masuk akal untuk menertawakan hal-hal yang tampak tak masuk akal?”

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *