Sesat Pikir Kembang Kantil

Perempuan bergaun merah itu berdiri di tengah temaram. Seorang gadis kecil telentang tak sadarkan diri di depannya. Bilah-bilah keris dan pisau terserak di atas meja. Perempuan itu menghunus salah satunya. Mendadak, bibir sang perempuan melantunkan sebuah tembang, “Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur.” Di titik inilah, kata “jancuk” mendesis dari mulut saya.

Saya tak berharap banyak ketika memutuskan untuk menonton film Kembang Kantil. Saya cukup paham, tak banyak (atau mungkin justru tak ada) yang bisa benar-benar diharapkan dari kebanyakan film horor Indonesia belakangan ini. Namun, saya tak pernah menyangka akan menemukan rentetan kedunguan yang sedemikian hakiki.

Kembang Kantil adalah sebuah film garapan sutradara Ubay Fox dan diproduksi oleh MD Pictures serta Dee Company. Film ini bercerita tentang sepasang suami istri kaya raya bernama Anton (Fadika Royandi) dan Siska (Nafa Urbach), yang mengangkat seorang gadis kecil bernama Tania (Richelle Georgette Skonichi) sebagai anak mereka.

Tania adalah seorang gadis yang tak begitu disukai oleh kawan-kawannya. Alasannya tak begitu jelas, tapi kemungkinan besar karena tabiatnya yang sedikit ganjil. Tania gemar menyendiri di sudut taman sambil makan bunga kantil.

Adegan demi adegan mulai bergulir. Seorang gadis yang membujuk kawan-kawannya untuk bersepakat tak mau bermain dengan Tania, tiba-tiba terlempar dari lantai dua. Gadis itu tewas bersimbah darah. Di sinilah, keanehan pertama terjadi. Usai lolongan panjang pemilik panti asuhan bernama Novi (Sarwendah), adegan tiba-tiba meloncat ke malam hari.

Di meja makan, perempuan itu bersikap biasa-biasa saja seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kematian seorang anak asuh seakan tak lebih dari kematian seekor ikan mas koki di dalam akuarium pada suatu pagi. Tak ada laporan ke polisi, yang kemudian datang untuk merentangkan garis polisi, atau melakukan penyelidikan, atau sekadar berbasa-basi menanyakan sejumlah hal terhadap sang pemilik rumah.

Bahkan, hingga film ini usai, saya menghitung ada enam tokoh yang mati dengan cara tak wajar. Dan, seperti yang sudah diduga, tak ada satu polisi pun yang muncul di film ini. Sungguh, logika cerita yang teramat aduhai dan menyedihkan.

Kejadian-kejadian misterius semakin sering terjadi ketika Tania tinggal di rumah Anton dan Siska. Pasangan muda ini tinggal di sebuah rumah berlantai dua yang sangat besar. Setelah kehadiran Tania, adik Anton yang bernama Alisa (Irish Bella) diceritakan datang dan ikut tinggal bersama di rumah ini.

Tak begitu jelas apa profesi Anton dan Siska yang sebenarnya, dan dari mana mereka mendapatkan kekayaannya. Cuma, satu hal yang pasti, pasangan ini hampir selalu mengenakan pakaian resmi ketika di luar maupun di dalam rumah. Anton selalu mengenakan jas atau tuksedo, sementara Siska nyaris selalu mengenakan gaun, seakan keduanya baru saja pulang dari pesta atau menghadiri sebuah upacara.

Kekacauan logika tak henti terjadi sepanjang film berdurasi sekitar 80 menit ini. Salah satunya adalah ketika Alisa yang tiba-tiba datang ke panti asuhan untuk mencari tahu tentang keluarga asli Tania. Padahal, tak ada satu adegan pun yang menampilkan Alisa diberi tahu tentang panti asuhan ini.

Belakangan diketahui, bahwa ayah kandung Tania ternyata adalah seorang anggota sekte pemuja iblis merah. Begitu juga dengan Anton dan Siska. Seperti yang sudah-sudah, tak ada penjelasan memadai tentang apa sebenarnya sekte itu, dan kenapa ada orang yang bersedia menjadi anggota sekte itu.

Sepanjang film, saya disuguhi dengan akting para pemain yang bahkan belum bisa untuk disebut pas-pasan. Semua kejadian seakan terjadi begitu saja tanpa sebuah motif yang jelas. Namun, sesungguhnya, hal-hal semacam itu masih agak bisa dimaklumi. Hingga akhirnya, muncul adegan di mana Siska mencoba menjadikan Tania sebagai tumbal, yang saya ceritakan di awal tulisan tadi.

Sebagai seseorang yang lahir di tengah keluarga Jawa, saya cukup paham, bahwa kebudayaan dan spiritualisme Jawa memang nyaris tak bisa dilepaskan dengan hal-hal berbau mistis. Kalau kata Franz Magnis-Suseno di buku Etika Jawa – Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1984), “Begitu bagi orang Jawa alam empiris berhubungan erat dengan alam metempiris (alam gaib), mereka saling meresapi. Pengalaman “empiris” orang Jawa tidak pernah semata-mata empiris. Alam metempiris yang angker dan mengasyikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam empiris selalu sudah diresapi alam gaib.”

Namun, mistisisme dan klenik adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Mistisisme sendiri bukanlah monopoli kebudayaan Jawa, melainkan ada di semua sistem religi. Karena mistisisme berkaitan erat dengan hasrat manusia untuk merasakan penyatuan dengan (sosok yang disebut sebagai) Tuhan. Sementara klenik adalah praktik perdukunan. Oleh karena itu, melakukan glorifikasi banal dengan menganggap bahwa segala hal yang berbau Jawa sebagai bagian dari klenik, adalah sebuah bentuk kedunguan yang tak beralasan.

Di buku yang sama, Magnis juga mengatakan, “Maka apabila kita bicara tentang pandangan dunia Jawa seharusnya kita tidak hanya bicara tentang agama (dalam arti sempit Barat) dan mitos, melainkan juga tentang menanam padi dan perayaan panenan, tentang kehidupan keluarga dan seni tari-tarian, tentang mistik dan susunan desa.” Di mana hal itu menjelaskan, bahwa ada banyak hal selain perkara alam gaib, yang berada di dalam ruang lingkup kebudayaan Jawa.

Namun, sesat pikir yang menyebut bahwa kebudayaan Jawa adalah mistik (yang dianggap sama artinya dengan klenik), tak henti direproduksi oleh budaya populer kita, tak terkecuali di film Kembang Kantil ini.

Sekar Gambuh adalah salah satu dari 11 tembang macapat yang tumbuh dan berkembang di alam kebudayaan Jawa. Macapat sendiri adalah puisi Jawa yang pembacaannya harus dilagukan. Ada sejumlah pakem baku terkait tembang ini, di antaranya soal titi laras atau notasi, sajak dan rima, serta tema. Kesebelas tembang ini mengandung falsafahnya sendiri-sendiri.

Misalnya adalah tembang Maskumambang yang berbicara tentang keadaan manusia ketika masih di alam ruh. Atau, Asmaradana yang berisi tentang kisah kasih asmara dan percintaan. Ada juga Megatruh yang berkisah tentang terpisahnya nyawa dari jasad manusia untuk kemudian menuju alam keabadian. Sementara Gambuh, yang dinyanyikan Nafa Urbach di film Kembang Kantil ini, berisi petuah tentang bagaimana cara bersikap bijaksana dalam relasi antarmanusia di dunia.

Untuk lebih jelasnya, berikut adalah arti dari syair tembang Gambuh yang dicomot secara semena-mena di film Kembang Kantil:

Sekar gambuh ping catur,
(Tembang gambuh keempat)
Kang cinatur, polah kang kalantur,
(Yang dibicarakan, tentang perilaku yang kebablasan)
Tanpa tutur, katula-tulakatali,
(Tanpa nasihat, terjerat penderitaan)
Kadaluwarsa kapatuh,
(Terlanjur menjadi kebiasaan)
Kapatuh pan dadi awon.
(Kebiasaan bisa berakibat buruk)

Lalu, di mana letak kleniknya? Di sisi mana, arti tembang ini berhubungan dengan iblis, atau roh halus, atau upacara pengorbanan nyawa manusia, atau segala macam tetek bengeknya?

Kedunguan semacam ini bukan sekali ini saja terjadi. Pada tahun 2006, Rizal Mantovani menyutradari sebuah film berjudul Kuntilanak. Film yang dibintangi oleh Julie Estelle tersebut, sukses mengenalkan sebuah tembang berjudul Lingsir Wengi ke khalayak luas sebagai mantra pemanggil setan. Padahal, tembang tersebut sebenarnya diciptakan Sunan Kalijaga sebagai tembang penolak bala. Bayangkan, sebuah lagu penolak bala yang diciptakan seorang wali didekonstruksi sedemikian rupa menjadi lagu pemanggil setan?

Walter Benjamin di sebuah esai panjangnya yang berjudul The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction (1936) menyebutkan, “Film mempunyai kekuatan untuk memobilisasi massa, mengkampanyekan kekritisan terhadap kondisi sosial, dan mampu membuat manusia menyadari aspek-aspek kehidupan yang keliru.” Artinya apa? Artinya adalah, film adalah media propaganda yang tidak bisa dianggap enteng. Sebagian masyarakat kita, hingga detik ini, masih saja hidup di tengah ketakutan akan sebuah hantu raksasa yang disebut sebagai komunisme. Karena, apa? Karena, sebuah film yang berjudul Pemberontakan G30S/PKI.

Berbeda dengan produk kebudayaan lain, film memiliki daya gugah yang jauh lebih kuat terhadap penikmatnya. Jika musik hanya merangsang pikiran manusia melalui media audio, sementara lukisan hanya lewat visual, film merangsang otak penontonnya melalui keduanya. Itulah kenapa, ketika seorang tokoh di sebuah film menyanyikan sebuah lagu berbahasa asing yang disebutkan sebagai lagu pemanggil setan,  penonton yang tidak memahami arti dari bahasa asing itu akan dengan mudah percaya, bahwa lagu yang dimaksud memang benar-benar lagu pemanggil setan. Apalagi, jika hal itu terus diulang-ulang. Kebohongan yang terus menerus diulang, akan menjelma kebenaran.

Lalu, apakah tindakan para sineas yang secara ngawur mendekonstruksi tembang-tembang Jawa di filmnya itu benar-benar sebuah tindakan kebetulan yang sama sekali tak beralasan? Tentu saja tak sesederhana itu.

Indonesia adalah sebuah negara pascakolonial. Penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa, memengaruhi perubahan budaya secara signifikan. Kebudayaan para penjajah dan (kebudayaan kita) yang terjajah, saling berkelindan dalam sebuah interaksi yang tak seimbang. Dampaknya, kita secara pelan-pelan menjelma masyarakat inferior yang semakin lama semakin tercerabut dari akar kita sendiri.

Kita sebagai warga yang tinggal di sebuah negara bekas jajahan, secara tak sadar akan memandang bahwa hal-hal yang berbau barat (dan asing) sebagai sesuatu yang serba wah dan hebat dan positif. Dan sebaliknya, segala yang berbau lokal akan kita anggap sebagai hal yang kuno dan primitif dan negatif.

Semangat inferioritas semacam inilah yang rupanya menjangkiti banyak sineas kita. Betapa sering kita menemukan praktik stereotip terkait hal ini di film horor Indonesia. Di mana, tokoh antagonis yang ditampilkan adalah orang-orang yang bersekutu dengan setan yang seringkali tampil dengan atribut-atribut lokal, entah keris, blangkon, wayang, dupa, primbon, mantra, atau (dalam kasus film Kembang Kantil) tembang tradisional.

Jika memang benar ini yang terjadi, maka seharusnya para sineas itu mulai introspeksi agar bisa memahami: Bahwa untuk menjadi seorang sineas yang baik dan benar, tidak cukup hanya belajar sinematografi, melainkan juga harus belajar untuk berpikir. Dengan catatan, ada perangkat di kepala yang bisa dipakai untuk berpikir.

 

*Tulisan ini pertama kali diterbitkan di jakartabeat.net.

2 Comments

  1. Artikel bagus. Saya juga punya pengalaman tentang kedua teman yang request tembang Lingsir Wengi ke penyanyi jalanan, sewaktu makan di tempat makan lesehan di Jakarta. Teman yang satu ngerasa “takut”, yang satunya seolah besar kepala karena “berani” nge-request lagu itu. Saya cuma bisa misuh dalam hati.

    Salam dari peranakan Wonogiri.

    Reply

Tinggalkan Balasan ke Riyadijoko Prastiyo Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *