HTI, Anak Haram Demokrasi yang Durhaka

HTI itu ibarat anak haram yang durhaka. Sudah haram, durhaka pula: Lahir dari rahim demokrasi, dibiarkan tumbuh dan berkembang, untuk kemudian menentang orang tua kandungnya sendiri.

Kelahiran pemikiran antidemokrasi semacam HTI, tentu bukan sesuatu yang diharapkan dalam sebuah sistem demokrasi. Tapi, namanya juga demokrasi, semua bentuk pemikiran apapun, mau tidak mau harus dibolehkan. Selama masih berbentuk pemikiran, kita semua harus(nya) tabah menghadapinya.

Sekitar abad IV SM, Plato sudah berpikir tentang risiko semacam ini. Dalam buku Politeia (The Republic), Plato menuliskan kritiknya yang tajam ke sistem demokrasi. Di situ disebut bahwa rezim yang berdasarkan kebebasan dan toleransi adalah rezim yang identik dengan anarkisme – situasi tanpa prinsip dan tanpa komandan.

Kenapa? Karena hidup di rezim demokratis adalah berarti: Tiap orang bebas menentukan dirinya sendiri. Tak ada orang lain yang punya hak untuk memaksa kita hidup dengan cara tertentu. Tiap orang bebas memiliki pendapat, dan tiap orang berhak menjalankan hidup yang ia inginkan.

Nah, jadi tak perlu heran, kalau tiba-tiba kita menemukan sejumlah adek-adek mahasiswa dan mahasiswi IPB berkumpul di sebuah aula raksasa, kemudian bersama-sama menyuarakan kebulatan tekadnya untuk terus berjuang demi tegaknya Negara Khilafah Islamiyah, sebagai solusi untuk problematika masyarakat Indonesia.

Tak usah kebakaran jenggot dan buru-buru mengatakan bahwa itu adalah demokrasi yang kebablasan. Kenapa? Karena, sejak kelahirannya, demokrasi memang sebuah sistem yang menjamin kebablasan semacam itu.

Cuma, kalau pemikiran antidemokratis semacam HTI itu dirasa layak diberi ruang karena kita adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi, seharusnya kita juga tak mempermasalahkan adanya diskusi tentang buku-buku kiri atau diskusi tentang LGBT atau pemikiran-pemikiran alternatif yang lainnya. Seharusnya, begitu.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *